X

TOKOH Aroma ‘Kecut’ Politik dalam Sepakbola: Menakar ‘RK’ sebagai Lawan Rasa Kawan

26 Agustus 2024 08:53 | Oleh Faridhian Anshari

DKYLB.com, Senin (26/8/2024) - Sepakbola memang tidak akan pernah bisa dipisahkan oleh politik.

Keduanya tidak pernah bisa (lebih tepatnya tidak akan) pernah bisa dilihat sebagai elemen tunggal yang saling berdiri sendiri.

Baca Juga: Mencengangkan banyak manusia tidak sadar badannya busuk lantas apa hubungannya sama anak raja Jawa yang digunjingkan warga sedunia ini?

Kedua elemen memiliki kutub yang bermagnet untuk mendapatkan saripati terbaik dari setiap relasinya.

Rasanya terlalu naif jika berbicara keduanya bisa berpisah, histori sepakbola dunia telah banyak menuliskan baik ditingkat negara hingga tingkat dusun, bahwa sepakbola akan selalu bergandengan dengan politik.

Sebagai badan yang memiliki otoritas tertinggi dalam mengatur sepakbola, FIFA jelas selalu berselimutkan politik dalam setiap detail pergerakannya.

Harus diakui, sebagai sebuah organisasi yang konon berangkat dari status nirlaba, FIFA memiliki kekuasaan yang absolut terhadap mobilitas negara-negara dalam satu planet Bumi.

Cuma FIFA yang bisa memindahkan negara Australia menjadi bagian dari benua Asia, hingga mengatur negara Israel untuk bermigrasi dari benua Asia ke Eropa.

Namun, perlu dilihat kembali, apakah ada unsur politis dibalik itu semua?

Jawabannya pasti ada, namun butuh pembuktian mendetail tanpa henti.

Pembicaraan di level paling kecil, baik ditingkat dusun atau desa, yang sangat dekat dengan masyarakat Indonesia juga dapat menjadi bukti tersendiri adanya relasi antara sepakbola dan politik.

Tidak percaya?

Lihat saja beragam pagelaran ‘Tarkam’ atau sepakbola antar kampung yang sering kali digelar menjelang hari kemerdekaan maupun dalam beragam momen tersendiri.

Jika diperhatikan, seringnya Piala yang diberikan kepada pemenang yang mewakili kampung, dusun, atau desa tertentu memiliki tajuk piala dengan nama lurah, camat, bupati, bahkan gubernur.

Tujuannya apa?

Ya jelas, menancapkan kesan bahwa pemimpin daerah peduli dengan speakbola, yang juga menyiratkan bahwa dalam berbagai tingkatan, pemimpin tidak segan menggunakan sepakbola sebagai ajang untuk meraup simpati publik.

Pertanyaan sesungguhnya yang kerap muncul adalah kenapa sepakbola sering kali menjadi teknologi untuk menggaet atensi publik?

Tepatnya sepakbola selalu dijadikan ‘media’ untuk berpolitik?

Apakah karena sepakbola adalah ‘lahan basah’ yang kerap kali rumput kapangan menutupi bau tidak sedap agenda yang tersembunyi dibaliknya?

Beragam studi, baik ditingkat jurnal akademik, buku bertemakan sepakbola maupun histori, serta diktat dan makalah yang beredar secara bebas di dunia maya, memberikan alasan bahwa sepakbola dapat menjadi alat ‘seksi’ untuk menyematkan politik ke publik, karena sepakbola akan selalu memiliki massa yang banyak dan somehow massa tersebut dinilai bersifat militan, yang dikenal dengan istilah suporter atau Fans.

Bayangkan, imajinasi yang ada dalam benak para orang yang bermain politik di dalam lingkaran sepakbola?

Mereka membayangkan melalui satu kegiatan, kebijakan, maupun pernyataan langsung dapat dituruti dan dijalankan oleh banyak atau publik, yang dalam hal ini berwujud suporter dan Fans.

Mereka berandai bahwa, melalui sepakbola, tinggal ‘ngomong satu kalimat’ semua suporter akan menurut tanpa bertanya-tanya, layaknya kerbau yang dikunci hidungnya. Apakah kenyataannya begitu? Mari kita lihat!.

Sejarah panjang umat manusia yang di dalamnya ter-wakilkan histori sepakbola justru menyatakan kebalikannya.

Tidak mudah bagi politisi untuk langsung mendapatkan suara suporter dengan cepat.

Jikalau berhasil, membutuhkan waktu yang panjang, dan tetap saja akan ada bagian dari suporter yang kritis dan menentang hingga titik darah penghabisan.

Buktinya, beragam suporter klub di Inggris tidak dengan cepat menurut keinginan para dewan FA yang kemudian dipimpin oleh Arthur Kinnaird untuk mengadopsi peraturan sepakbola dari jumlah pemain hingga tata pelaksanaannya yang mirip dengan Rugby.

Sebagai politisi, keinginan untuk mendapatkan suara melalui suporter yang merupakan bagian besar dari publik kala itu, membutuhkan waktu yang lama yang secara historis akhirnya berbeda haluan cerita.

Beragam cara negarawan, dalam hal ini ditingkat Raja, Presiden, Walikota, yang menginginkan penyelenggaraan event sepakbola untuk dapat berlangsung meriah di negara atau daerahnya.

Tujuannya, publik senang, pemimpin hidup tenang. Namun, justru histori berbicara lain, bahwa keinginan tersebut tidak selalu berjalan mulus dan mendapat atensi positif dari suporter.

Buktinya, protes terus berjalan selama penyelenggaraan piala dunia 2014 di Brazil, Piala dunia 2018 di Rusia, hingga adegan ‘sulap’ Qatar yang mengubah negaranya menjadi ladang pesta sepakbola tetapi menumbalkan ratusan pekerja pembangunan stadion.

Loncat ke negara tercinta, Negara Kesatuan Republik Indonesia, aroma politik yang menggerayangi sepakbola pastinya sudah ada semenjak dulu kala. Perputaran aroma tersebut dapat tercium dalam nuansa yang wangi, harum, kecut, hingga busuk, maupun gabungan dari semuanya yang menciptakan semerbak aroma tersendiri.

Toh, tidak dapat dipungkiri, terciptanya badan organisasi bernama PSSI di tahun 1930 yang hingga saat ini masih menjelma sebagai federasi sepakbola nasional, lahir karena unsur politik dari para penggerak dengan menggunakan sepakbola sebagai teknologi untuk melawan penjajah.

Ya walaupun, aroma wangi di awal dengan niat baik yang menyelimutinya, perlahan berubah menjadi aroma yang tidak harum lagi karena PSSI perlahan dijadikan kendaraan untuk meraih suara publik, yang dapat diceritakan oleh sejarah melalui keberadaan para mantan ketua PSSI yang pada akhirnya dapat duduk manis di posisi pemerintahan yang strategis.

Sehingga, jika kita kembali pada keadaan yang hadir di depan mata saat ini.

Tepatnya dalam momen beberapa pekan selepas negara tercinta merayakan Ulang Tahunnya yang ke -79, melalui dinamika Pilkada khususnya di ibukota Jakarta membuat pergerakan publik menjadi liar dan berani bersuara lantang, mengarah kepada berbagai sisi yang berkaitan dengan sepakbola dan politik.

Tepatnya, yang kita bicarakan adalah sosok Ridwan Kamil, selaku calon kepala daerah atau gubernur Jakarta dalam periode mendatang yang dirasa tidak memiliki lawan tangguh untuk bersaing di kompetisi pemilihan kepala daerah.

Oke, sosok ‘RK’ yang kita bicarakan!

Memang apa masalahnya?

Mari kita telusuri sejenak siapa ‘RK’ dari masa ke masa.

Publik secara gambling dan gampang akan mengingatnya sebagai mantan Walikota Bandung hingga mantan gubernur Jawa Barat.

Keberhasilannya?

Mungkin dapat dilihat dalam artikel yang berbeda milik orang lain, atau silakan di-google sendiri.

Namun, yang kita bicarakan di sini adalah latar belakang beliau yang kaitannya dalam sepakbola.

Baca Juga: Terungkap Diskriminasi Buta Warna di Indonesia Brutal dan Diskriminatif dan Indonesia Masuk Negara Terbelakang karena Menerapkan Bebas Buta Warna

Sepakbola di Jakarta akan selalu identik dengan keberadaan Persija sebagai klub sepakbola lokal yang memiliki historis panjang, maupun eksistensi Jakmania atau The Jak sebagai suporter militan yang dikenal ‘berani mati’ demi memberikan dukungan kepada klub kebanggaan.

Kisah yang selalu tertera dalam sejarah, menceritakan langkah para calon pemimpin Jakarta yang kerap kali menggunakan suara suporter Jakmania untuk mendulang suara agar mulus melenggang di kursi pemerintahan.

Kisah kampanye berbalut janji manis Anies & Sandi menjadi bumbu tersendiri dalam sejarah Pilkada DKI Jakarta.

Janji dengan aroma wangi harum yang kana membangun stadion sepakbola tersendiri untuk Persija, pada akhirnya menjadi sengketa yang tidak sepenuhnya dapat diakui sebagai stadion ‘sendiri’ oleh Persija.

Keberadaan Jakarta International Stadium (JIS) justru menjelma dan dikenal sebagai stadion tuan rumah penyelenggaraan piala dunia U-17 pada tahun 2023, maupun erat dengan label stadion untuk konser musisi ternama internasional maupun nasional yang singgah ke Indonesia.

Label sebagai stadion miliki Persija?

Perlahan mulai hilang dari ingatan publik, walaupun janji tersebut akan selalu ditagih oleh mereka yang berelasi dengan Persija, baik manajemen klub, pemain maupun suporter. Imbasnya untuk mereka yang menebar janji manis? Mereka berhasil mendapatkan keinginannya melalui jalan sepakbola.

Keberhasilan menggunakan sepakbola melalui perebutan atensi orang di baliknya, baik pemain, klub, maupun tingkatan kelompok suporternya, yang selalu menjadi formula tersendiri untuk para calon pemimpin daerah merangkai puzzle keberhasilannya duduk manis di posisi strategis.

Kasus keberhasilan ‘A & S’, yang pada akhirnya lima, enam, sepuluh tahun kemudian masih bersengketa, dianggap tidak menjadi masalah apalagi ‘utang moral’ yang harus dibayar.

Toh, sudah berhasil duduk manis di singgasana.

Pola pikir yang sepertinya akan selalu digunakan oleh calon pemimpin Jakarta untuk merangkai mimpi besar mereka.

Jelas, sasaran utamanya selain publik yang hidup di Jakarta, adalah mereka para manusia yang berelasi dengan sepakbola Jakarta.

Kategori suporter menjadi sasaran empuk karena jumlahnya yang lebih banyak dibandingkan manusia yang berada di lingkaran manajemen klub.

Keberadaan suporter yang menghiasi berbagai lapisan publik, baik kaya - miskin, pekerja - pelajar, hingga dewasa-remaja, menggambarkan sebuah ‘makanan’ yang menggiurkan untuk dicicipi oleh mereka yang ingin duduk manis di singgasana.

So, dimana hubungannya dengan ‘RK’, selaku calon terdepan saat ini untuk memimpin Jakarta?

Jawabannya adalah latar belakang ‘RK’ yang merupakan warga Jawa Barat, yang justru identik dengan kryptonite Persija serta Jakmania, yakni klub Persib dan jajaran Bobotoh sebagai suporter utamanya.

Kisah yang diberitakan dari dua elemen Persija-Persib, Jakmania-Bobotoh jarang terdengar manis, justru lebih sering tercium aroma yang tidak harum yang bernuansa keributan, kerusuhan, vandalisme, hingga adanya korban jiwa.

Jadi apakah ‘RK’ adalah malaikat penyelamat yang justru dapat menyatukan kedua kubu (andai terpilih)?

Kita tidak tahu jawabannya, karena hal tersebut belum terjadi, dan ‘Bau-Bau’ ke arah sana juga belum tercium.

Namun, justru yang menarik untuk dicermati adalah beragam pernyataan dari ‘RK’ yang mengakui bahwa dirinya siap untuk beradaptasi, hingga berubah haluan untuk dapat mencintai Persija jika terpilih menjadi pemimpin Jakarta.

Alasannya simpel, karena dia pemimpin Jakarta makanya dia harus mendukung klub asal Jakarta, bukan lagi klub yang dulu dicintainya.

Hmm sudah mulai tercium bau kecut? Secara tersirat dan tersurat ‘RK’ jelas menegaskan bahwa dirinya siap menjual ‘loyalitasnya’ sebagai Bobotoh untuk dapat menjadi bagian dari Jakmania.

Demi apa?

Demi dukungan tulus untuk prestasi Jakarta? Jujur, saya tidak yakin.

Jawabannya dapat dipastikan demi dukungan untuk dirinya sendiri agar mulus menduduki kursi kepemimpinan yang disokong oleh suara dari suporter Jakmania sebagai bagian dari pemilihnya.

Seharusnya ‘RK’ tidak lupa akan foto dirinya yang bertelanjang dada sembari memberikan dukungan ketika Persib Juara Liga tahun 2014.

Foto yang menggambarkan ekspresi dan kecintaannya terhadap klub lokal yang konon diceritakan selalu didukung dari kecil.

Ya, saya hanyalah seorang peneliti dan penulis, yang merasa bahwa teori mengenai suporter akan selalu dapat digoyah.

Suporter yang identik dengan loyalitas, tidak menjadikan seseorang untuk hanya boleh mencintai satu tim sepanjang hidupnya. Idealnya memang begitu.

Namun, karena perilaku support bersifat asasi, maka siapa saja boleh mendukung satu bahkan seribu klub sepanjang dirinya mampu.

Cuma ya, sepertinya jarang sih ada orang yang mampu dengan cepat mendukung dua klub yang berlawanan dengan kadar cinta yang sama.

Kalaupun ada, pasti akan selalu ada ‘udang dibalik batu’.

Gampangnya, agak susah ya sepertinya melihat seseorang yang lahir di Catalan dan menjadi suporter klub Barcelona dari kecil, dalam hitungan jari (tahun), berubah haluan menjadi pendukung Real Madrid yang notabene adalah rival terberatnya.

Ada?

Mungkin saja bagi mereka yang rela menjual dirinya demi tujuan tertentu.

Baca Juga: Misteri Kasus Korupsi RK terkait Dana Hibah yang Menelan Rp seperti Lenyap Identik Pasangan Kasus

Jadi, apakah pergerakan ‘RK’ akan menghembuskan semerbak wangi harum untuk kelompok suporter sepakbola di Jakarta atau justru perlahan mulai tercium aroma tidak sedap yang dibawa dirinya mengingat latar belakangnya sebagai pendukung kelompok rival.

Doa saya, semoga saja aromanya tidak tercium kecut seperti bau ketek!

*Penulis merupakan pengajar di Universitas yang terletak di Jakarta Selatan.  Penulis juga merupakan peneliti kajian olahraga, media, dan masyarakat. Penulis dapat dihubungi di email faridhian@gmail.com


Pemerintah Tetapkan Target Zero ODOL 2027: AHY Tegaskan Komitmen Lindungi Pengemudi dan Pengguna Jalan

Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menegaskan kebijakan Zero ODOL akan berlaku efektif pada 1 Januari 2027. Dalam rapat di Kantor Kemenko IPK, Jakarta (6/10/2025), AHY menyebut langkah ini penting untuk menekan kecelakaan dan memperkuat logistik nasional. Pemerintah menyiapkan sembilan rencana aksi, fokus pada integrasi data elektronik, insentif usaha, kajian ekonomi, dan perlindungan pengemudi.

06 Oktober 2025 22:55 | terkini

Ekspor Udang dan Rempah Indonesia Terancam: AS Terapkan Aturan Ketat karena Isu Radioaktif

Pemerintah Amerika Serikat melalui Food and Drug Administration (FDA) memperketat aturan impor terhadap udang dan rempah asal Indonesia setelah ditemukannya dugaan kontaminasi radioaktif pada beberapa sampel produk ekspor. Langkah ini memicu kekhawatiran di kalangan eksportir dan petani di daerah penghasil utama seperti Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Lampung. Kasus ini tidak hanya berdampak pada nilai ekspor, tetapi juga menimbulkan pertanyaan tentang standar pengawasan pangan di Indonesia. Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan BPOM kini tengah berkoordinasi dengan otoritas AS untuk menelusuri dan memastikan kebenaran temuan tersebut.

06 Oktober 2025 18:45 | terkini

Korban Tewas Ponpes Al Khoziny Bertambah, Evakuasi Terus Dilakukan

Musibah runtuhnya bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo mengguncang masyarakat. Proses evakuasi terus berlangsung di tengah duka mendalam, sementara jumlah korban tewas terus bertambah seiring ditemukannya jasad baru di antara puing bangunan.

06 Oktober 2025 12:05 | terkini