
HUKUM Revisi Peran Militer dalam Pemerintahan Sipil: Stabilitas atau Ancaman Demokrasi?
DKYLB.com, Jakarta – Pemerintah kembali menuai sorotan publik setelah muncul revisi terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2019. Revisi tersebut dinilai membuka ruang yang lebih luas bagi keterlibatan militer dalam urusan sipil—sebuah langkah yang memunculkan kekhawatiran akan mundurnya prinsip demokrasi di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 telah menjadi pijakan penting dalam reformasi sektor keamanan, khususnya dalam membatasi peran militer hanya pada urusan pertahanan negara. Dalam aturan tersebut, dijelaskan bahwa keterlibatan TNI di luar tugas pokok hanya diperbolehkan dalam kondisi tertentu dan dengan persetujuan dari Presiden serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini mencerminkan semangat reformasi yang memisahkan peran militer dari ranah sipil.
Namun, dalam revisi yang saat ini tengah dibahas, sejumlah pasal justru memperluas wewenang TNI untuk melaksanakan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) tanpa memerlukan persetujuan DPR. TNI juga dapat dilibatkan dalam berbagai sektor, seperti pengamanan unjuk rasa, penanggulangan terorisme, keamanan maritim, hingga penanganan bencana dan jabatan di kementerian. Revisi ini bahkan memperkuat struktur komando di bawah Presiden dan Menteri Pertahanan, serta menambah unit-unit seperti Cyber TNI.
Koalisi masyarakat sipil, termasuk KontraS, Imparsial, dan ELSAM, menyatakan penolakan terhadap revisi ini. Mereka menilai perluasan peran militer dalam urusan sipil berpotensi menabrak prinsip supremasi sipil atas militer dan menghidupkan kembali bayang-bayang dwifungsi ala Orde Baru.
“Ini berbahaya. Jika TNI bisa menjalankan fungsi sipil tanpa kontrol DPR, maka prinsip check and balance bisa lumpuh,” ungkap salah satu perwakilan KontraS dalam konferensi pers yang dikutip dari Kompas.com.
Dari sisi lain, pemerintah berdalih bahwa pelibatan TNI dalam OMSP dibutuhkan untuk memperkuat keamanan nasional, terlebih di tengah situasi global yang tidak stabil dan meningkatnya ancaman non-tradisional seperti terorisme dan bencana alam.
Dalam wawancara bersama dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila, Mas Suluh, ia menjelaskan bahwa revisi ini perlu dikritisi secara mendalam. “Kalau militer masuk terlalu dalam ke ranah sipil, kita rawan kehilangan ruang demokrasi yang sehat. TNI bisa jadi tidak tersentuh karena tidak melalui jalur pengawasan sipil,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa solusi terbaik adalah menegaskan kembali batasan peran militer dan memperkuat fungsi pengawasan publik serta parlemen. “Militer penting untuk pertahanan, tapi jangan sampai kita lupa bahwa sipil adalah pemegang kendali negara dalam sistem demokrasi,” ujarnya.
Rencana revisi UU TNI dan Perpres 66/2019 kini menjadi ujian bagi bangsa Indonesia: apakah tetap berkomitmen menjaga demokrasi pascareformasi, atau justru bergerak mundur menuju sistem pemerintahan yang dikendalikan oleh kekuatan bersenjata.