
HIBURAN Sukatani: Kritik Sosial dari Purbalingga Lewat Musik Punk
DKYLB.com, Jakarta – Di tengah gelombang sensor dan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi, band punk asal Purbalingga, Sukatani, justru memilih jalur musik sebagai senjata untuk menyuarakan kritik sosial. Salah satu lagu mereka yang paling dikenal, “Bayar Bayar Bayar”, sempat mengundang kontroversi karena dianggap menyindir aparat, hingga akhirnya ditarik dari berbagai platform digital.
Band yang dikenal dengan gaya lantang dan pemakaian penutup wajah ini, menggunakan musik sebagai alat perjuangan, menyampaikan suara masyarakat akar rumput yang kerap terpinggirkan. Dalam wawancaranya bersama AFP, Sukatani menyatakan bahwa musik mereka adalah bentuk perlawanan atas ketimpangan sosial, kekerasan, hingga pembungkaman suara publik.
Kebebasan Bersuara di Persimpangan Jalan
Isu kebebasan berekspresi kembali mencuat seiring pembatasan terhadap karya-karya seni yang dinilai “mengganggu stabilitas”. Sukatani menilai bahwa tindakan penarikan lagu mereka merupakan cerminan bahwa demokrasi Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah besar dalam menjamin hak berpendapat.
Mereka juga menegaskan bahwa kritik dalam karya seni bukan bentuk permusuhan, melainkan wujud cinta terhadap bangsa. “Kami bukan anti negara, kami hanya ingin negara ini mendengar warganya yang marah,” ujar salah satu personel.
Musik Punk: Ruang Aman untuk Perlawanan
Sebagai band punk, Sukatani mengusung semangat “do it yourself” (DIY), menciptakan karya dengan modal minim namun semangat maksimal. Mereka tampil di berbagai panggung bawah tanah, dari warung kopi, lapangan kecil, hingga aksi demonstrasi. Dengan lirik-lirik tajam dan performa teatrikal, Sukatani berhasil membentuk basis pendengar yang loyal, terutama dari kalangan muda.
Musik mereka menjadi ruang aman untuk publik mengutarakan keresahan atas mahalnya biaya hidup, kekerasan aparat, dan buruknya layanan publik. Dalam situasi sosial-politik yang semakin represif, keberadaan kelompok seperti Sukatani menjadi penting untuk menjaga agar suara publik tetap terdengar.
Menjaga Api Perlawanan
Sukatani kini bukan sekadar band, melainkan simbol perlawanan kreatif. Mereka menyadari bahwa risiko tetap ada mulai dari sensor, pembredelan, hingga ancaman hukum. Namun bagi mereka, diam adalah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat yang tertindas.
Di tengah kemunduran ruang sipil dan kriminalisasi kritik, kisah Sukatani mengingatkan bahwa musik bisa menjadi alat perjuangan yang kuat. Mereka hadir bukan untuk mencari sensasi, melainkan membakar semangat publik agar tidak pasrah dalam ketidakadilan.