
TOKOH Hampir 16 juta anak Indonesia krisis sosok ayah, apa dampaknya?
JAKARTA: Fenomena fatherless atau ketida hadiran sosok ayah dalam pengasuhan anak semakin mengkhawatirkan di Indonesia.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS Maret 2024, tercatat 20,1 persen anak Indonesia, atau sekitar 15,9 juta anak, hidup tanpa figur ayah dalam pengasuhan mereka.Dari jumlah tersebut, 4,4 juta anak sama sekali hidup tanpa ayah, sementara 11,5 juta anak lainnya memiliki ayah yang bekerja lebih dari 60 jam per minggu, sehingga secara emosional tidak hadir dalam kehidupan sehari-hari.
Fenomena ini bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan jutaan anak yang kehilangan separuh dunianya. Kehilangan figur ayah berarti kehilangan sumber identifikasi diri, model peran, dan jangkar emosional yang membentuk rasa aman dan percaya diri anak. Kekosongan peran ayah kerap berdampak pada berbagai masalah sosial seperti kenakalan remaja, perilaku agresif, hingga krisis identitas.
DAMPAK FISIK DAN EMOSIONAL BAGI ANAK
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Rahmat Hidayat, menegaskan bahwa ketidakhadiran figur ayah tidak hanya bermakna secara fisik, tetapi juga secara emosional. “Ketidakhadiran figur ayah tidak hanya dimaknai secara fisik, namun juga secara emosional,” ujar Rahmat Hidayat, Kamis (16/10), dikutip dari laman resmi UGM.
Menurut Rahmat, banyak keluarga di Indonesia mengalami kondisi fatherless karena tuntutan pekerjaan yang menuntut mobilitas tinggi.Padahal, peran ayah dibutuhkan untuk mendukung perkembangan emosional dan sosial anak. Ia menjelaskan, ada tiga proses utama pembelajaran anak yang membutuhkan figur ayah, yaitu observasional, behavioral, dan kognitif.
Dalam pembelajaran observasional, anak belajar dengan meniru perilaku orang lain. Di sinilah peran ayah sebagai teladan atau role model menjadi sangat penting. Pembelajaran behavioral berkaitan dengan kebiasaan dan penguatan perilaku melalui penghargaan atau hukuman. Dalam konteks ini, ayah berperan sebagai sosok otoritas yang menetapkan batasan serta memberikan arahan terhadap perilaku anak.
Sementara itu, dalam pembelajaran kognitif, interaksi verbal dan dialog antara ayah dan anak membantu membentuk nilai moral serta kemampuan berpikir kritis. Rahmat menilai, meskipun peran ayah bisa digantikan secara terbatas oleh ibu, guru, atau anggota keluarga besar, keterlibatan emosional antara ayah dan anak tetap tidak tergantikan. Bahkan bagi ayah yang bekerja jauh dari rumah, hubungan emosional tetap harus dijaga.
“Ayah yang tidak bisa membersamai anak karena urusan pekerjaan justru bisa menjadi kebanggaan tersendiri bagi anak, asalkan hubungan keduanya tetap hangat,” katanya.Ia juga menyoroti pentingnya peran pemerintah dalam menekan fenomena fatherless melalui edukasi pranikah. Sambungnya, calon pasangan perlu memahami peran dan tanggung jawab sebagai orang tua sebelum membangun keluarga.
“Edukasi peran dalam menghadapi pernikahan harus menjadi bagian penting sebelum membangun komitmen berkeluarga. Kita sering menganggap pernikahan sebagai hal alami, padahal itu dunia baru yang menuntut kesiapan psikologis dan pemahaman peran antara ayah dan ibu,” tekannya. Selain itu, Rahmat menilai bahwa pemerataan lapangan pekerjaan di luar Pulau Jawa perlu digalakkan untuk mengurangi jumlah keluarga yang mengalami ketidakhadiran ayah akibat tekanan ekonomi.
Ia menekankan bahwa fenomena ini bukan hanya masalah individu, tetapi juga struktural. “Kehadiran ayah secara emosional sangat bergantung pada stabilitas sosial dan ekonomi keluarga. Ketika tekanan ekonomi tinggi dan pekerjaan menuntut mobilitas besar, interaksi emosional antara ayah dan anak cenderung berkurang,” tutup Rahmat.
nama : syifa nur ihsani 7024210169
sumber : CNN, Kompas.com,Katadata.co.id