TERKINI Krisis Lingkungan Akibat Deforestasi Meluas di Indonesia
Jakarta, Selasa (29/10/2025)
Krisis lingkungan akibat deforestasi di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan laporan Kompas.com edisi Oktober 2025, laju kehilangan hutan alami di Indonesia meningkat sekitar 5 persen dibanding tahun sebelumnya. Kawasan yang paling terdampak meliputi Kalimantan, Sumatera, dan Papua tiga wilayah yang selama ini dikenal sebagai paru-paru Indonesia.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa sebagian besar deforestasi disebabkan oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit, pembukaan lahan tambang, serta pembalakan liar. Aktivitas tersebut bukan hanya mengubah bentang alam, tetapi juga memicu berbagai bencana ekologis, seperti banjir, longsor, dan kekeringan ekstrem.
Dampak sosialnya juga tak kalah serius. Masyarakat adat yang bergantung pada sumber daya hutan mulai kehilangan ruang hidup mereka. Salah seorang warga adat di Kalimantan Tengah, Yuliana, mengungkapkan keresahannya.
“Kalau hutan habis, kami juga ikut hilang. Hutan bukan hanya tempat kami mencari makan, tapi juga bagian dari identitas kami,” ujarnya dalam laporan Kompas.com.
Selain kehilangan keanekaragaman hayati, deforestasi juga berkontribusi besar terhadap emisi karbon. Berdasarkan analisis World Resources Institute yang dikutip Kompas.com, sekitar 30 persen emisi karbon Indonesia berasal dari perubahan penggunaan lahan dan kebakaran hutan. Artinya, krisis ini bukan hanya berdampak lokal, tetapi juga berkontribusi pada perubahan iklim global.
Pemerintah sebenarnya telah meluncurkan sejumlah program rehabilitasi hutan dan reforestasi. Namun, pelaksanaannya kerap menemui kendala di lapangan. Banyak program penghijauan yang tidak berkelanjutan atau hanya bersifat seremonial.
Menurut laporan Republika.co.id, salah satu masalah utama adalah kurangnya keterlibatan masyarakat lokal. Dalam banyak kasus, masyarakat adat atau petani sekitar hutan tidak dilibatkan dalam perencanaan dan pengawasan proyek reforestasi. Akibatnya, banyak pohon yang ditanam tidak sesuai dengan ekosistem aslinya, sehingga tidak tumbuh optimal.
“Program reforestasi seringkali gagal karena tidak berbasis pada pengetahuan lokal,” tulis Republika.co.id dalam ulasan editorialnya.
Sementara itu, aktivis lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebut bahwa pengawasan terhadap industri ekstraktif perlu diperketat. Ia menilai bahwa selama izin eksploitasi sumber daya alam masih diberikan dengan mudah, maka kebijakan penghijauan tidak akan banyak berarti.
“Kita tidak bisa bicara reforestasi di satu sisi, tapi membiarkan deforestasi di sisi lain,” ujar Nurul Widyastuti, juru kampanye lingkungan WALHI, dikutip dari Kompas.com.
Selain faktor kebijakan, kesadaran masyarakat umum juga masih menjadi tantangan besar. Konsumsi produk berbasis sawit dan kayu tanpa memperhatikan sumbernya memperpanjang rantai eksploitasi hutan.
Namun, sejumlah inisiatif positif mulai bermunculan. Komunitas mahasiswa di Yogyakarta, misalnya, menginisiasi gerakan “Tumbuh Lagi” yang berfokus pada penanaman kembali pohon di lahan bekas tambang. Mereka bekerja sama dengan petani lokal dan menggandeng relawan dari berbagai daerah.
Langkah-langkah kecil seperti ini memberi harapan bahwa perubahan tetap mungkin terjadi asalkan didukung oleh kebijakan yang tegas, pengawasan yang kuat, dan kesadaran kolektif seluruh lapisan masyarakat.
Kesimpulan:
Deforestasi di Indonesia bukan hanya soal hilangnya pohon, melainkan krisis ekologis dan sosial yang kompleks. Selama penyebab utamanya belum diatasi dari perizinan longgar, lemahnya penegakan hukum, hingga rendahnya partisipasi masyarakat maka krisis lingkungan akan terus membayangi masa depan Indonesia.
Elsa Adinda Putri
Diolah dari sumber Kompas.com dan Republika.co.id

