
TERKINI Stigmatisasi Wahabi: Jejak Propaganda dari Utsmaniyah, Orientalis, hingga CIA
Di awal Juni, ada muncul istilah "Wahabi Lingkungan". Salah satu Ketua PBNU, Ulil Abshar Abdalla menyatakan di platform X pada 10 Juni 2025: "Peduli lingkungan, oke. Menjadi wahabi lingkungan jangan. Harus dibedakan antara peduli lingkungan dg menjadi "wahabi lingkungan" yg hanya menggaungkan "wokisme dan alarmisme global" dlm bidang lingkungan. Berbahaya!"
Ulil menggunakan metafora ini di X untuk mengkritik aktivisme lingkungan yang menurut dia, "tekstualis", terlalu kaku atau ekstrem dalam menolak segala bentuk pertambangan dan ekstraksi. Ia menegaskan bahwa peduli lingkungan boleh, tapi jangan menjadi "wahabi lingkungan" yang menolak secara puritan tanpa kompromi.
Cuitan Ulil ini mengundang reaksi dan sorotan, tidak hanya kepada Ulil namun juga terhadap Nahdlatul Ulama (NU). Setidaknya ada dua hal yang patut disorot dari cuitan Ulil.
Pertama, posisi Ulil terkesan sebagai pendukung eksploitasi tambang secara ugal-ugalan (terkait dengan penambangan Nikel di Raja Ampat).
Dan ternyata salah satu pengurus PBNU, KH Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur), menjabat sebagai komisaris PT Gag Nikel, perusahaan tambang yang beroperasi di Raja Ampat. Meski begitu, PBNU menegaskan bahwa keterlibatan Gus Fahrur adalah urusan pribadi.
Kedua, stigmatisasi "Wahabi Lingkungan". Ini label bagi kelompok yang puritan tanpa kompromi, ekstrem, bahkan radikal dan dikaitkan dengan terorisme. Intinya, kelompok yang dilabeli "Wahabi" adalah kelompok berbahaya.
Pengguna X bereaksi terhadap stigmatisasi itu bukan hanya kepada Ulil namun juga kepada PBNU.
@Murtadhoroy menyatakan: "Intinya semua yg nggak sejalan dgn PBNU dicap wahabi..."
@Pr0f1t120n1 menulis: "Saya bacanya: peduli lingkungan oke tapi jangan kritik NU, nanti saya labeli Wahabi kalian..."
@ikhwanuddin menulis: "tokoh ngajarin labelling “wahabi lingkungan” dengan makna yg tidak jelas. asli bingung apa hubungannya dengan Muḥammad ibn ʿAbd al-Wahhāb?"
@bungjesss menulis: "enak banget jadi PBNU, yg beda pandangan dan beda kepentingan tinggal dituduh "wahabi!!!" :))"
Apa sebenarnya "Wahabi" ini dan kenapa disebut berbahaya?
Ada kesan, kelompok tertentu terus mendorong kata "Wahabi" sesering mungkin ke ruang publik agar dipakai sebagai label "berbahaya". Sama seperti zaman Orde Baru memakai kata "separatis" atau "komunis" sebagai label kelompok berbahaya.
Di Amerika Serikat, kita juga bisa menjumpai label serupa: kelompok kanan dilabeli "Neo Nazi" atau "Fasis" oleh kelompok kiri/Liberal. Sementara kelompok kiri dilabeli sebagai "Komunis" atau "Antifa" (Anti Fasis).
Labelisasi atau stigmatisasi adalah cara yang dipakai lawan politik secara sadar untuk membungkam pihak lain dan memanipulasi pandangan publik.
Metodenya melalui pengulangan narasi, penguatan emosi, dan penyederhanaan isu. Cocok dengan prinsip "Big Lies": pengulangan kebohongan secara masif melalui media massa agar diterima sebagai kebenaran.
Teknik propaganda "Big Lies" ini dinisbatkan kepada Paul Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi, yang pada kenyataannya tidak pernah menyatakan hal itu.
Goebbels hanya menekankan pentingnya pengulangan informasi untuk memengaruhi publik, bukan pengulangan kebohongan secara masif.
Lantas kenapa ada labelisasi "Wahabi" dan kenapa pula kelompok Salaf menjadi target labelisasi? Padahal, tidak pernahdiketahui ada kelompok bernama "Wahabi" ini, baik di abad-abad awal Hijriah sampai sekarang.
Baik Muhammad bin Abdul Wahhab, seorang ulama bermazhab Hanbali (wafat tahun 1792) ataupun pengikutnya, tidak pernah menyebut diri mereka sebagai Wahabi.
Sementara ulama Khawarij Aljazair, Abd al-Wahhab bin Rustum (wafat tahun 827) yang dikenal ekstrem juga tidak menyebut kelompok mereka sebagai Wahabi melainkan Ibadiyah.
Contoh kebohongan tentang "Wahabi" ada pada foto utama artikel. Foto ini sering dipakai dalam artikel yang membahas "Wahabi". Disebutkan bahwa orang duduk di tengah sebagai Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bahkan ada artikel menunjuk pada orang yang berdiri di bagian tengah - kiri atas. Padahal Muhammad bin Abdul Wahhab wafat tahun 1792, jauh sebelum fotografi ditemukan (kamera pertama kali diciptakan sekitar 1839).
Senjata Politik Daulah Utsmaniyah (Ottoman Empire)
Labelisasi "Wahabi" terkait dengan pembentukan negara Arab Suadi. Pada tahun 1744 di Dir'iyah, Najd (kini bagian dari Arab Saudi), Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menjalin aliansi dengan penguasa lokal, Muhammad bin Saud.
Misi mereka: mengajak umat kembali kepada tauhid murni, memberantas praktik syirik dan bid'ah yang meluas, serta merujuk pada pemahaman generasi awal Islam (salafus shalih).
Namun, gerakan ini dengan cepat menjadi kekuatan politik-militer yang mengancam hegemoni Daulah Utsmaniyah yang kala itu menguasai Afrika Utara dan Timur Tengah, dan Sebagian Eropa.
Ketika aliansi Wahhab-Saud berhasil merebut kota suci Makkah dan Madinah pada awal abad ke-19 (1803–1805), Istanbul meradang. Daulah Utsmaniyah, yang menyandang gelar Khadim al-Haramayn (Pelayan Dua Tanah Suci), melihat gerakan ini sebagai pemberontakan berbahaya.
Untuk mendelegitimasi gerakan tersebut, otoritas Utsmaniyah dan ulama yang loyal kepadanya mempopulerkan istilah "Wahabi" sebagai label peyoratif.
Tujuannya adalah untuk menggambarkan dakwah tauhid ini sebagai aliran sesat, fanatik, dan berada di luar Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Salah satu tokoh paling berpengaruh dalam kampanye ini adalah Ahmad Zaini Dahlan (wafat 1886), Mufti Mazhab Syafi'i di Makkah yang bekerja di bawah otoritas Utsmaniyah.
Melalui kitabnya yang terkenal, Fitnatul Wahhabiyyah (Fitnah Wahhabi), ia melukiskan gerakan ini sebagai kelompok ekstremis dan kejam. Tulisannya menjadi rujukan utama bagi banyak ulama di seluruh dunia Islam, termasuk mereka yang berasal dari Nusantara.
Orientalis Barat Mengadopsi dan Memperkuat Label
Kekuasaan Utsmaniyah atau Ottoman berakhir setelah kalah pada Perang Dunia I pada 1918. Inggris dan Prancis menguasai wilayah bekas Utsmaniyah.
Arab Saudi sendiri baru berdiri secara resmi pada 1932 setelah Abdulaziz Al Saud dan pasukan Ikhwan menaklukkan Makkah pada 1924, dan Madinah pada 1925.
Saat itu Makkah dan Madinah dikuasi Syarif Husain bin Ali (penguasa Hijaz), melalui Revolusi Arab (1916). Ia bersekutu dengan Inggris dan memproklamasikan Kerajaan Hijaz.
Sejak aliansi pertama di awal abad ke-19 sampai Arab Saudi berdiri di tahun 1932, para ulama keturunan Abd. Wahhab dan murid-muridnya selalu mendukung Ibnu Saud.
Seiring melemahnya Utsmaniyah dan meningkatnya pengaruh Eropa, para penjelajah dan akademisi Barat (orientalis) mulai mengkaji gerakan di Jazirah Arab ini.
Meskipun beberapa dari mereka mencoba bersikap objektif, penggunaan istilah "Wahabi" oleh mereka justru memperkuat dan memformalkannya dalam literatur akademik global.
D.S. Margoliouth, dalam The First Encyclopaedia of Islam (1913–36), mencatat bahwa istilah "Wahhâbiyyah" digunakan oleh musuh-musuh gerakan tersebut, sementara para pengikutnya sendiri menyebut diri mereka Muwahhidûn (orang-orang yang mentauhidkan Allah).
David Commins, dalam karyanya The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (2006), secara sistematis menggunakan istilah "Wahhabi-Saudi alliance" dan menyebut Wahhabisme sebagai "kredo resmi Arab Saudi," yang mengukuhkan label tersebut di dunia akademis.
Christine Dobbin, dalam buku Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy (1983), menyebut Gerakan Paderi di Sumatra Barat terinspirasi dari "gerakan Wahhabi yang puritan di Arab."
Salah satu cuplikan penting: "...the Wahhabi movement in West Sumatra appeared in the form of the Paderi movement with two famous figures, Imam Bonjol and Tuanku Rao (Dobbin 2008, 257)."
Dengan demikian, label yang semula merupakan alat propaganda politik Utsmaniyah, kini mendapatkan legitimasi akademis dari Barat.
Dan peneliti Indonesia juga memakai istilah "Wahabi" ini bersandarkan pada buku orientalis dan Ahmad Zaini Dahlan serta yang sepemikiran dengannya.
Syafnir Aboe Nain, dalam 200 Tahun Tuanku Imam Bonjol, menulis soal Perang Paderi: "Ide ini timbul Ketika mereka berkenalan dengan ajaran kaum wahabi Makkah saat mereka menunaikan ibadah haji."
Pelo Syarif alias Tuanku Imam Bonjol baru berusia 18 tahun ketika Muhammad bin Abdul Wahhab meninggal. Dan ia belajar di Makkah, bukan di Najd, asal dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab.
Azyumardi Azra menulis bahwa Paderi bukan Wahabi tapi Gerakan Islam lokal. Belanda masuk karena konflik elite lokal. Tidak ada bukti bahwa Tuanku Imam Bonjol adalah murid langsung Abdul Wahhab. Tapi pengaruh Wahabisme bisa sampai lewat jaringan ulama di Makkah dan pelajar Haji Indonesia (Jaringan Ulama, Azra, 1999).
Meski menolak mengaitkan Perang Paderi dengan Gerakan "Wahabi", Azyumardi Azra tetap memakai istilah Wahabisme, mengafirmasi labelisasi terhadap gerakan salafi.
Literatur Belanda—terutama karya orientalis seperti G.F. Pijper—secara sadar menggunakan label "Wahabi" untuk memberi justifikasi teologis dan politis atas intervensi kolonial terhadap kaum Paderi di Sumatra Barat.
Label ini bukan sekadar deskripsi, tetapi bagian dari strategi kolonial: mencitrakan gerakan Paderi sebagai ancaman fanatik ala Timur Tengah, agar publik dan pemerintah Belanda melihatnya sebagai legitimasi untuk penindasan militer.
Penolakan Label Wahabi oleh Ulama dan Pemerintah Arab Saudi
Ironisnya, pihak yang paling sering dituduh "Wahabi" justru menolak keras label tersebut.
Para ulama, pejabat, hingga pemerintah Arab Saudi secara konsisten menegaskan bahwa mereka adalah muslim pengikut Al Quran dan Sunnah dengan pemahaman salafus shalih.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Mantan Mufti Agung): "Tidak ada yang disebut Wahhabisme. Itu hanyalah label palsu yang dibuat oleh musuh kebenaran."
Syaikh Shalih Al-Fauzan (Ulama Senior): "Mereka menyebut kami Wahabi untuk menyesatkan manusia dari kebenaran. Kami bukan pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab, kami pengikut Rasulullah ﷺ."
Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) dalam sebuah wawancara dengan CBS, pada 2018: "Tidak ada Wahabisme. Kami tidak tahu apa-apa dengan nama itu. Itu adalah istilah yang diciptakan oleh musuh untuk salah merepresentasikan landasan agama kami."
Konstitusi Arab Saudi pun tidak pernah menyebut "Wahabisme" sebagai ideologi negara.
Royal Decree No. A/90 (1992) – "Basic Law of Governance", Pasal 1 menyebutkan
"Kerajaan Arab Saudi adalah negara Arab Islam yang berdaulat... Konstitusinya adalah Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya."
Bukankah terasa janggal jika dianggap bahwa terorisme dan pemberontakan terhadap negara berasal dari Wahabisme dan Wahabi merupakan aliran keagamaan yang dianut Arab Saudi dan disebarkan ke seluruh dunia.
Kenyataannya Arab Saudi sendiri tidak mengenal apa itu Wahabi seperti yang disebutkan. Selain itu, gerakan salafi yang berasal dari Arab Saudi juga mengharamkan pemberontakan dan kekerasan.
Gerakan Salafi dan Tradisi Lokal
Setelah keruntuhan Utsmaniyah, propaganda dan labelisasi "Wahabi" dilanjutkan orientalis, peneliti Barat, dan ulama yang tidak menyukai gerakan salafi.
Daulah Utsmaniyah secara formal adalah negara Islam Sunni, tapi dalam praktiknya longgar terhadap amalan-amalan tarekat sufi. Banyak ulama negara berasal dari kalangan Asy‘ariyah-Syafi’iyyah dan tarekat (Naqsyabandiyah, Khalwatiyah, Rifaiyah, dan sebagainya).
Beberapa penguasa bahkan mempromosikan kultus terhadap sultan dan wali, yang dalam pandangan tauhid murni tergolong ghuluw (berlebihan).
Ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab dianggap mengancam tradisi tersebut karena sangat keras terhadap bid'ah, tawasul (berdoa melalui orang mati), tabarruk, ziarah kubur (beribadah di kuburan), dan ajaran-ajaran sufistik. Praktik-praktik keagamaan seperti itu subur di akhir masa Utsmaniyah.
Universitasi Al-Azhar, Mesir, yang berdiri pada tahun 970 dan pada tahun 1171, menjadi pusat mazhab Syafi’i dan tradisi Asy’ari-Maturidi. Al-Azhar sangat bernuansa tasawuf (sufi).
Beberapa tokoh Al-Azhar di awal abad ke-20 seperti Ali Jum'ah, Ahmad al-Tayyib, dan Syekh Mahmud Shaltut mengkritik gerakan salafi.
Ulama Syafi'i banyak mengkritik gerakan salafi. Misalnya Yusuf al-Nabhani (wafat 1932), qadhi dan sufi dari Lebanon, mengkritik keras dakwah salafi yang menolak tawasul (berdoa melalui orang mati) dan ziarah kubur (beribadah di kuburan).
Namun karya Ahmad Zaini Dahlan, Fitnatul Wahhabiyyah dan Al-Durar al-Saniyyah fi al-Radd ‘ala al-Wahhabiyyah, menjadi sumber utama stigmatisasi dakwah salafi dengan label Wahabi dan sangat mempengaruhi ulama Asia Tenggara yang belajar di Hijaz.
Ulama yang belajar dari Mesir dan Hijaz, sebelum era dakwah salafi, memegang erat tradisi lokal menjadi penentang gerakan salafi. Sejarah menunjukkan bahwa pemurnian ajaran Islam memang selalu berbenturan dengan kelompok yang mempertahankan tradisi lokal.
Lihat saja masyarakat Minang di masa Tuanku Imam Bonjol. Ulama dan kaum adat sering mengadakan sesajen, selamatan, atau permintaan (istighatsah) di makam tokoh adat atau leluhur. Kaum Paderi menganggapnya sebagai tahayul dan syirik, karena memohon selain kepada Allah.
Yang disebut sebagai tradisi lokal sebenarnya banyak diwarnai agama Hindu. Baik itu sesajen, selamatan, ritual kematian, atau seni tari dan musik dalam ritual ibadah. Patut diteliti apakah tradisi lokal atau Islam lokal yang dimaksud sebenarnya dipengaruhi ajaran Hindu.
Muhammadiyah yang berdiri pada 1912 juga menentang tradisi lokal yang tidak sesuai dengan syariat Islam dan dilabelisasi dengan "Wahabi Jawa".
Muhammadiyah menolak maulid, tahlil, dan upacara kematian --seperti 7 hari, 40 hari, 1000 hari-- dianggap mengacaukan harmoni Islam lokal atau "Islam Nusantara".
Padahal Muhammadiyah lebih banyak dipengaruhi pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di Mesir, bukan dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab di Najd.
Label "Wahabi" pada Muhammadiyah akhirnya hilang karena organisasi ini fokus pada dakwah dan pendidikan, menghindari konflik frontal.
Di sisi lain, muncul varian dakwah lain yang juga menyerukan pemurnian, namun dengan gaya penyampaian yang lebih langsung dan keras dalam mengkritik amalan-amalan keagamaan yang tidak berdasar dalil syar'i.
Meski "keras", dakwah salafi bukanlah dakwah takfiri yang mudah mengkafirkan pihak lain seperti halnya Khawarij. Selain itu, dakwah salaf mengharamkan pemberontakan.
Perbedaannya, jika Muhammadiyah adalah organisasi, gerakan salafi bukan organisasi, bukan sekte, dan bukan kelompok struktural. Ia adalah manhaj (metodologi) dalam memahami dan mengamalkan Islam.
Kondisi ini membuat gerakan salafi menjadi bulan-bulanan penentangnya: mendapat stigmatisasi, diusir, atau pengajiannya dibubarkan.
Di sisi lain, pada kenyataannya, ada juga kelompok yang menamakan diri mereka "salafi" namun praktiknya bukan praktif salaf karena mereka mudah mengkafirkan sesama muslim dan menentang penguasa. Dua hal yang tidak diajarkan manhaj salaf.
Salah kaprah lainnya, ada juga ulama salafi yang berusaha "membela" Wahabi karena berasumsi bahwa Wahabi itu benar ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab dan aliran resmi di Arab Saudi.
Kondisi ini yang antara lain membuat labelisasi "Wahabi" kepada gerakan dakwah salafi seakan tidak pernah berhenti.
Transformasi Stigma di Era Modern: Dari "Wahabi" ke "Salafi-Jihadis"
Setelah peristiwa 9/11, peledakan Twin Tower di Amerika Serikat, istilah "Wahabi" sebagai asal terorisme mengalami evolusi baru.
Lembaga think tank dan intelijen Barat seperti RAND Corporation dan CIA mulai mempopulerkan kategorisasi baru untuk memecah belah gerakan salafi, yang merupakan kelanjutan dari dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Menurut analisis Quintan Wiktorowicz, mereka membagi salafi menjadi tiga kelompok:
Salafi Ilmiah (Purist): Fokus pada dakwah dan pendidikan, apolitis, dan taat pada penguasa.
Salafi Haraki (Politicized): Terlibat dalam aktivisme dan politik praktis.
Salafi Jihadi (Militant): Menghalalkan kekerasan dan pemberontakan.
Meski tampak analitis, strategi ini bertujuan untuk mengaburkan fakta bahwa mayoritas salafi menolak keras terorisme.
Para ulama rujukan utama gerakan salafi, seperti Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin, dan Syaikh Shalih Al-Fauzan, secara tegas mengharamkan terorisme dan pemberontakan.
Ketika, labelisasi "Wahabi" saja tidak berhasil menghentikan gerakan tauhid pemurnian ajaran Islam, maka istilah "salafi" pun dilabelisasi. Media Barat dan orientalis juga mendorong pemakaian istilah "Salafi-Wahabi" atau "Salafi-Jihadis" untuk kelompok Islam radikal.
Dengan mencampuradukkan istilah, Barat berhasil menciptakan citra bahwa salafi secara umum adalah "pintu gerbang menuju terorisme."
Narasi ini terus-menerus diulang dalam laporan media dan lembaga kajian Barat hingga membentuk opini publik bahwa setiap dakwah yang menyerukan kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah pasti berujung ekstremisme.
Pada akhirnya, labelisasi ini tak akan pernah mengubah landasan dakwah yang bersumber dari wahyu. Prinsip dasarnya tetap jelas dan kokoh, seperti yang ditegaskan dalam khutbah Nabi ﷺ sendiri:
"Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad ﷺ. Dan seburuk-buruk perkara adalah hal-hal yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap yang diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah sesat." (Imam Muslim dalam Shahih Muslim, no. 867)
Wallahu ta'ala 'alam.
[Dari berbagai sumber]