OTOMOTIF Di Balik Klaim Investasi Sosial: Menelisik Beban Finansial dan Transparansi Proyek Kereta Cepat Whoosh
JAKARTA – Proyek Kereta
Cepat Jakarta–Bandung (KCJB), yang kini beroperasi sebagai Whoosh, terus
menjadi sorotan tajam publik, terutama setelah laporan keuangan menunjukkan
kerugian yang signifikan di tengah klaimnya sebagai "investasi sosial
jangka panjang". Beban utang proyek ini mencapai angka fantastis sekitar Rp116
triliun atau setara 7,2 miliar dollar AS, yang mendorong tuntutan
transparansi yang lebih mendalam serta desakan untuk reformasi tata kelola
proyek nasional.
Beban Utang dan Kerugian
Fantastis Menghantui BUMN
Laporan keuangan PT Kereta Cepat
Indonesia China (KCIC) pada tahun 2024 mencatat kerugian hingga Rp2,6
triliun. Kerugian ini sebagian besar timbul akibat beban depresiasi,
amortisasi, dan bunga pinjaman yang wajib dibayarkan kepada China Development
Bank (CDB). Hingga saat ini, utang KCIC kepada CDB diperkirakan mencapai USD
4,55 miliar, setara dengan Rp75 triliun.
Beban finansial ini secara
langsung membebani PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI, yang merupakan
pemimpin konsorsium BUMN Indonesia, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI).
Direktur Utama KAI, Bobby Rasyidin, mengakui secara tegas bahwa utang kereta
cepat ini menjadi “bom waktu” bagi perseroan. PSBI, sebagai pemegang
saham mayoritas KCIC, mencatat kerugian Rp4,195 triliun sepanjang 2024 dan
kerugian tambahan Rp1,625 triliun pada semester I-2025 (unaudited). Komposisi
kepemilikan saham PSBI sendiri terdiri dari KAI (58,53%), PT Wijaya Karya
(Persero) Tbk (33,36%), PT Jasa Marga (Persero) Tbk (7,08%), dan PTPN VIII
(1,03%).
Dugaan Mark-up dan
Desakan Audit Forensik
Kritik tajam diarahkan pada
pembengkakan biaya (cost overrun) dan dugaan kurangnya transparansi
kontrak. Biaya proyek awal yang sebesar USD 5,5 miliar dari China, kemudian
naik menjadi USD 6,07 miliar, dan terus membengkak sebesar USD 1,2 miliar,
menjadikan total anggaran proyek menembus USD 7,27 miliar.
Mantan Menko Polhukam Mahfud MD
menyoroti minimnya transparansi dalam kontrak pengadaan antara Indonesia dan
China, bahkan anggota DPR diklaim tidak mengetahui detail isi kontrak tersebut.
Ekonom Anthony Budiawan menilai proyek ini telah menimbulkan kerugian nyata
terhadap keuangan negara, bukan hanya potensi kerugian. Anthony menyoroti tiga
indikator yang patut dipertanyakan, termasuk biaya pembangunan KCJB yang
dinilai jauh lebih tinggi dibandingkan proyek sejenis di negara lain.
Anthony membandingkan total biaya
proyek versi China, termasuk bunga pinjaman selama 50 tahun masa konsesi, yang
mencapai USD 10,85 miliar. Angka ini selisih sekitar USD 4,51 miliar
(setara Rp73,5 triliun) atau 71 persen lebih mahal dibandingkan total biaya
yang ditawarkan Jepang (USD 6,34 miliar). Perbandingan suku bunga juga
menajamkan polemik; pinjaman dari China dikenakan bunga 2 persen untuk proyek
awal dan 3,4 persen untuk cost overrun, jauh di atas tawaran Jepang yang
sempat hanya 0,1 persen per tahun.
Anggota Komisi XI DPR RI, Harris
Turino, mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk segera melakukan audit
forensik independen terhadap seluruh proses tender, dokumen kontrak, model
evaluasi finansial, dan komunikasi dengan pemberi pinjaman, karena penyimpulan
adanya mark-up harus didahului oleh audit komprehensif. Kegagalan ini,
menurut Radhar Tribaskoro, disebabkan oleh desain skema yang politis dan
menyingkirkan prinsip dasar governance demi ambisi politik jangka
pendek.
Menimbang Klaim 'Investasi
Sosial'
Di tengah tekanan finansial,
Whoosh diklaim sebagai “investasi sosial jangka panjang” yang tidak
diukur dari laba finansial. Mantan Presiden Jokowi menyatakan keuntungan yang
dikejar bersifat non-finansial, seperti pengurangan emisi karbon, peningkatan
produktivitas masyarakat, polusi yang berkurang, dan waktu tempuh yang lebih
cepat. Pernyataan ini menuai sindiran tajam dari Sosilog Perkotaan Nanyang
Technological University, Profesor Sulfikar Amir.
Secara teknis, Kereta Cepat
Jakarta–Bandung memang terbukti paling efisien energi (±27,5 kWh/km) dan rendah
emisi karbon (0,45–0,48 kWh/penumpang-km) dibandingkan moda transportasi darat
lainnya pada rute yang sama. Waktu tempuh yang hanya sekitar 40 menit juga
merupakan keunggulan utama.
Namun, analisis kelayakan proyek
(studi tahun 2018) menunjukkan realitas finansial yang rumit:
- Analisis Finansial Murni (Hanya Penjualan
Tiket): Proyek dinyatakan layak dari segi NPV positif baru akan
diperoleh pada tahun ke-38 (2057). Nilai Profitability Index (PI)
adalah 0,79 (< 1), yang secara kriteria menunjukkan proyek tidak
layak. Payback Period (PP) adalah 34,47 tahun.
- Analisis Ekonomi Murni (Manfaat Sosial):
Proyek dinyatakan tidak layak karena Payback Period (PP)
selama 33,76 tahun lebih lama dari tahun NPV positif (tahun ke-29).
Manfaat ekonomi ini mencakup penghematan nilai waktu, biaya bahan bakar,
biaya operasional kendaraan, pengurangan emisi, dan biaya kecelakaan.
- Analisis Gabungan (Ekonomi dan Finansial):
Proyek dinyatakan sangat layak karena nilai Net Present Value
(NPV) sudah positif sejak tahun pertama (2020), dengan Benefit/Cost
Ratio (BCR) 1,56.
Terlepas dari potensi social
benefit, temuan terbaru menunjukkan bahwa hanya 15–30% pengguna moda
lama yang beralih ke Whoosh. Hambatan utama perpindahan ini adalah harga tiket
yang relatif tinggi, lokasi stasiun yang kurang terintegrasi, dan keterbatasan
moda lanjutan (last mile connectivity).
Opsi Penyelamatan dan Sikap
Pemerintah
Untuk mengatasi utang jumbo Rp116
triliun ini, Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara)
tengah mencari solusi jangka panjang, termasuk negosiasi restrukturisasi utang
dengan China.
Chief Operating Officer
Danantara, Dony Oskaria, menyiapkan dua opsi utama: menambah penyertaan
modal (equity) atau menyerahkan infrastruktur KCIC kepada
pemerintah (sebagaimana industri kereta api lainnya).
Meskipun KAI menanggung beban
utang yang besar, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR)
Kementerian Keuangan Suminto menegaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) tidak memiliki kewajiban untuk menanggung utang Whoosh
karena proyek ini dijalankan melalui skema business to business (B2B).
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa juga menegaskan bahwa Danantara memiliki
kapasitas untuk menambal utang tahunan KCIC yang ditaksir Rp2 triliun, melalui
dividen BUMN. Purbaya menyatakan, selama struktur pembayarannya jelas dan
transparan, pihak pemberi pinjaman (CDB) tidak akan mempermasalahkannya.

