NASIONAL Kode Suksesi Keraton dan Dinamika Politik Lokal: Mencermati Peluang Kepemimpinan Perempuan di Yogyakarta
Jakarta – Isu kepemimpinan
perempuan selalu menjadi topik perdebatan yang menarik, terutama dalam konteks
suksesi di Keraton Yogyakarta. Kehadiran perempuan dalam regenerasi
kepemimpinan Keraton Yogyakarta menjadi polemik karena adanya dualisme
pengaturan antara tradisi kuno (Paugeran) dan hukum negara (Undang-Undang
Keistimewaan).
Dualisme Hukum: Paugeran dan
UUK DIY
Polemik ini bermula dari langkah
berani Sri Sultan Hamengku Buwono X (HB X), Raja Keraton Yogyakarta dan
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang mengangkat putri sulungnya
sebagai penerus.
Secara tradisional, Kasultanan
Yogyakarta sejak Hamengkubuwono I hingga HB X menganut sistem patriarki
dan Paugeran Keraton umumnya menetapkan bahwa pemimpin Kasultanan harus seorang
laki-laki. Salah satu Paugeran yang menjadi dasar bahwa Raja harus laki-laki
adalah kutipan dari Serat Puji yang menyebutkan: "Utamanya Raja
itu Pria". Selain itu, gelar Sultan sebelumnya yang mengandung frasa "Khalifatullah"
secara tradisional dikonotasikan sebagai peran maskulin, yaitu wakil Tuhan di
muka bumi yang berfungsi sebagai pemelihara kelanggengan agama.
Di sisi lain, hukum negara
melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY (UUK
DIY) juga sempat memuat syarat yang secara tersirat menghambat kepemimpinan
perempuan. Pasal 18 ayat (1) huruf m UUK DIY mensyaratkan calon Gubernur dan
Wakil Gubernur harus menyerahkan Daftar Riwayat Hidup Istri, yang mengindikasikan
bahwa calon pemimpin DIY haruslah laki-laki.
Langkah Progresif Sultan HB X
melalui Sabda Raja
Sultan HB X, yang tidak memiliki
putra laki-laki, mulai merekonstruksi budaya suksesi dan mengikis budaya
patriarki. Sultan menegaskan bahwa ia harus tunduk pada undang-undang republik
yang tidak membedakan laki-laki dan perempuan, meskipun hal tersebut bertentangan
dengan tradisi patriarkis leluhurnya.
Pada 30 April 2015, Sultan HB X
mengeluarkan Sabda Raja yang mengandung beberapa perubahan, termasuk
menghilangkan gelar "Khalifatullah" dan mengganti penyebutan
"Buwono" menjadi "Bawono". Penghapusan gelar
"Khalifatullah" ini secara langsung mengurangi pengaruh Islam dalam
kerajaan dan membuka peluang munculnya raja perempuan di kemudian hari.
Berselang lima hari, pada 5 Mei
2015, Sultan mengeluarkan Dawuh Raja (atau Sabda Raja II) yang menunjuk
putri sulungnya, Gusti Kanjeng Ratu Pambayun, untuk menjadi Puteri
Mahkota Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Gelar GKR Pambayun diubah menjadi
Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram.
Keputusan ini bertolak belakang dengan Paugeran yang selama ini berlaku.
Dinamika Konflik Internal dan
Infrastruktur Politik
Keputusan Sultan HB X tersebut
memicu penolakan keras dari kerabat internal Keraton, termasuk adik-adik Sultan
seperti GBPH Yudhaningrat dan GBPH Prabukusumo. Mereka
berpendapat bahwa tindakan Sultan melanggar Paugeran Keraton dan tradisi pancer
lanang (keturunan laki-laki), serta dianggap sebagai penyelewengan terhadap
adat istiadat. Secara historis, suksesi kepemimpinan Keraton Yogyakarta memang
tidak selalu mulus dan sering diiringi konflik perebutan takhta.
Namun, Sultan HB X, yang memegang
otoritas tertinggi di Keraton (Dawuh Dalem), telah menyiapkan
"infrastruktur" yang memungkinkan GKR Mangkubumi menjadi Raja dan
Gubernur. Putri kedua Sultan, GKR Condrokirono, diangkat sebagai Penghageng
Kawedanan Hageng Panitrapura. Posisi ini sangat strategis karena Penghageng
bertanggung jawab menandatangani surat pencalonan Gubernur DIY sesuai Pasal 19
ayat (3) huruf a UUK.
Untuk mengatasi hambatan hukum
formal, Sultan HB X mengajukan judicial review terhadap frasa
"istri" dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UUK DIY. Permohonan tersebut
dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor
88/PUU-XIV/2016, yang menghapus frasa "istri". Putusan ini
secara hukum menegaskan bahwa jabatan Gubernur DIY boleh diraih oleh laki-laki
maupun perempuan.
Solusi Konstruktif dan
Perspektif Hukum Adat
Meskipun dinamika konflik
internal dan eksternal melemahkan rezim Sultan HB X, hasil penelitian
menunjukkan bahwa dualisme pengaturan ini dapat menjadi solusi konstruktif
dalam menyelesaikan polemik kepemimpinan perempuan di Yogyakarta.
- Adaptasi Kultural: Paugeran, sebagai
hukum adat yang hidup, memiliki fleksibilitas untuk berevolusi sesuai
perkembangan zaman. Perubahan Paugeran yang memungkinkan suksesi perempuan
tidak secara otomatis bertentangan dengan UUK DIY.
- Kerangka Formal: UUK DIY, sebagai lex
specialis, memberikan kerangka formal yang dapat diinterpretasikan
secara progresif untuk mengakomodasi perubahan Paugeran.
- Harmonisasi Konstitusional: Berdasarkan
Teori Siyasah Dusturiyah (hukum tata negara Islam), untuk mengatasi
dualisme ini, diperlukan harmonisasi antara hukum adat dan hukum negara
melalui revisi regulasi yang mengakomodasi prinsip keadilan, kompetensi,
dan partisipasi musyawarah (syura). Pendekatan ini dapat menjadi
landasan normatif kuat untuk mewujudkan tata kelola kepemimpinan yang adil
dan berkelanjutan.
Dengan demikian, peluang kepemimpinan perempuan di Yogyakarta bukan lagi hanya wacana politik, tetapi didukung oleh langkah-langkah transformatif Sultan HB X dalam Paugeran dan pengakuan formal dari hukum negara melalui Putusan MK.

