DAERAH Plus Minus Utang Daerah ke Negara: Studi Kasus Kebijakan Baru dan Dampaknya pada Otonomi Fiskal Pemerintah Daerah
Pinjaman Daerah sebagai Solusi Defisit dan Percepatan
Pembangunan
Kebutuhan dana untuk membiayai aktivitas Pemerintah Daerah
(Pemda) dan membangun infrastruktur terus meningkat, sementara kenaikan
penerimaan daerah seringkali tidak terprediksi, terutama saat menghadapi
kendala seperti pandemi COVID-19. Dalam upaya menanggulangi defisit anggaran,
beberapa Pemda mengambil kebijakan meminjam dana dari pihak ketiga (Pinjaman
Daerah). Pinjaman daerah ini merupakan alternatif pembiayaan yang sah secara
undang-undang, guna menjaga keseimbangan pengeluaran rutin dan pembangunan.
Pinjaman daerah sangat penting dalam menunjang pembiayaan
pembangunan, mengingat Pemda tidak dapat sepenuhnya mengandalkan dana yang
berasal dari Pemerintah Pusat. Pinjaman menambah kapasitas fiskal daerah,
memberikan kepastian alokasi untuk pendanaan infrastruktur.
Keuntungan Pinjaman Daerah: Stimulus Infrastruktur dan
Kesehatan Fiskal Terjaga
Pinjaman daerah berperan sebagai instrumen vital, terutama
bagi daerah yang memiliki keterbatasan fiskal. Penggunaan utang daerah
diutamakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur publik.
Studi Kasus Kabupaten Manggarai Penelitian
menunjukkan bahwa pinjaman daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten
Manggarai pada tahun 2022 memberikan dampak positif bagi pembangunan
infrastruktur. Faktor utama pengambilan pinjaman adalah untuk
merealisasikan visi-misi dan janji politik kepala daerah yang tertuang dalam
RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah). Selain itu, pinjaman ini
juga digunakan untuk mengatasi defisit anggaran sebesar Rp14,89 miliar pada
tahun 2022 akibat dampak pandemi COVID-19.
Secara finansial, pinjaman Pemkab Manggarai dianggap layak
karena memenuhi persyaratan dalam PP Nomor 56 Tahun 2018 Pasal 15. Nilai Debt
Service Coverage Ratio (DSCR) Manggarai adalah 2,54 poin, yang berada di
atas ambang batas minimum 2,5. Hal ini berarti bahwa setiap satu rupiah utang
(pokok dan bunga) dapat dilunasi dengan pendapatan daerah sebesar 2,54 rupiah,
menunjukkan kemampuan manajemen utang yang baik.
Risiko dan Dampak Negatif: Beban Angsuran dan Kualitas
Belanja
Meskipun memberikan manfaat akselerasi pembangunan, pinjaman
daerah menyimpan risiko serius jika tidak dikelola secara hati-hati.
Pembatasan Belanja Daerah Masa Depan Konsekuensi
utama dari pinjaman adalah kewajiban mengangsur pokok dan bunga, yang harus
dialokasikan langsung dari pendapatan daerah. Hal ini berdampak pada penurunan
kualitas belanja daerah pada tahun selanjutnya, karena dana yang tersedia
harus diprioritaskan untuk melunasi kewajiban utang. Akibatnya, prioritas
pembangunan pada sektor lain mungkin tertunda. Jika dinilai secara parsial,
pinjaman dan angsuran daerah di Jawa Barat belum memiliki pengaruh signifikan
terhadap belanja daerah, meskipun secara simultan berpengaruh signifikan.
Di Jawa Barat selama periode 2015-2021, rata-rata angsuran
pinjaman daerah terhadap belanja daerah mencapai 14,01%. Hal ini menunjukkan
bahwa setiap Rp 1,00 angsuran Pinjaman Daerah menyebabkan berkurangnya
Belanja Daerah sebesar 14,01%. Beberapa daerah bahkan memiliki rasio
angsuran pinjaman terhadap pendapatan daerah di atas 1,5%, seperti Kota Cirebon
(2,12%) dan Kota Bogor (1,54%).
Risiko Pinjaman PEN dan Otonomi Fiskal Pinjaman
Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Daerah, yang disalurkan melalui PT SMI,
bertujuan mendukung pembangunan infrastruktur yang terhambat akibat COVID-19.
Namun, kasus Pemkab Gorontalo menunjukkan adanya 15 paket pekerjaan yang
didanai Pinjaman PEN mengalami putus kontrak, yang menimbulkan kerugian
meskipun kewajiban pengembalian pokok pinjaman tetap harus dilaksanakan.
Pengembalian Pinjaman PEN Daerah dilakukan melalui pemotongan
langsung Dana Transfer Umum (DTU). Kewajiban ini semakin mempersempit ruang
gerak pengelolaan APBD, terutama mengingat adanya mandatory spending
(belanja wajib) dan Dana Alokasi Umum (DAU) yang penggunaannya sudah
ditentukan. Beban kewajiban ini mempengaruhi kemandirian fiskal daerah.
Kebijakan Baru UU HKPD: Memperkuat Kehati-hatian Fiskal
Pemerintah merespons tantangan fiskal dan utang daerah
melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). UU HKPD dirancang untuk
meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan memperkuat desentralisasi fiskal.
Menkeu Sri Mulyani menegaskan bahwa UU HKPD mendorong
pembiayaan utang daerah dengan mengutamakan prinsip kehati-hatian dan
kesinambungan fiskal (prudentiality).
Kebijakan baru dalam UU HKPD meliputi:
- Perluasan
Skema Pembiayaan: Pemda kini dapat mengakses Pembiayaan Utang Daerah
dalam skema konvensional (Pinjaman Daerah, Obligasi Daerah) maupun syariah
(Sukuk Daerah).
- Penguatan
Prudentiality: Persetujuan DPRD atas Pembiayaan Utang Daerah
diintegrasikan dalam proses pembahasan RAPBD, menyederhanakan prosedur
tanpa mengurangi aspek kehati-hatian.
- Jangka
Waktu Panjang: Pembiayaan utang daerah yang memenuhi persyaratan
teknis dapat dilakukan melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah setelah
mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, dan
Menteri PPN/Kepala Bappenas.
- Larangan
Jaminan: Pemerintah Pusat tidak memberikan jaminan atas Pembiayaan
Utang Daerah.
Otonomi Fiskal Daerah: Antara Ketergantungan dan
Kemandirian
Otonomi fiskal yang ideal dicapai ketika daerah mampu
membiayai dirinya sendiri dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan mengurangi
ketergantungan pada Dana Transfer ke Daerah (TKD). Namun, derajat otonomi
fiskal di Indonesia masih rendah.
Provinsi Maluku, misalnya, masih sangat bergantung pada
transfer dari pusat untuk membiayai belanjanya. Indeks Kemandirian Fiskal (IKF)
Pemerintah Provinsi Maluku selama periode 2018-2022 berada pada derajat “belum
mandiri” dan “menuju kemandirian”. Ketergantungan daerah yang tinggi ini
adalah salah satu isu krusial desentralisasi fiskal.
Meskipun Pemda diperbolehkan memperoleh pendanaan dari pihak
lain di dalam negeri, dan dilarang mendapatkan pendanaan langsung dari luar
negeri, UU HKPD melalui skema pinjaman baru, termasuk Obligasi dan Sukuk
Daerah, bertujuan meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan mendorong
kemandirian anggaran. Pengelolaan pinjaman harus dilakukan secara efektif dan
efisien, mencerminkan tata kelola penggunaan anggaran yang baik.
Penutup dan Rekomendasi
Pinjaman daerah adalah alat yang kuat untuk mempercepat
pembangunan dan mengatasi defisit, namun implementasinya harus dilakukan dengan
penuh tanggung jawab dan kehati-hatian. Agar utang daerah benar-benar menjadi
"plus" bagi otonomi fiskal, disarankan:
- Prioritaskan
PAD-Generating Projects: Penggunaan pinjaman harus diprioritaskan pada
pembangunan infrastruktur yang dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD), seperti pembangunan pasar, terminal modern, atau penambahan modal
pada BUMD yang sehat.
- Efisiensi
dan Akuntabilitas: Pemda perlu secara rutin mengevaluasi pengelolaan
pinjaman untuk meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas. Penerapan solusi
pengelolaan pinjaman yang efektif, transparan, dan berkelanjutan sangat
penting, sesuai dengan prinsip PP Nomor 56 Tahun 2018 Pasal 3.
- Optimalkan
Penerimaan: Peningkatan penerimaan daerah melalui intensifikasi dan
ekstensifikasi pajak daerah perlu dilakukan, didukung digitalisasi
penerimaan, untuk menunjang kemandirian daerah dan tidak terus menerus
bergantung pada transfer Pusat.

