
TERKINI Mega Korupsi Pertamina: Skandal Sistematis yang Merugikan Publik
DKYLB.com, Ahad (16/3/2025)
Kasus korupsi yang mengguncang PT Pertamina Patra Niaga menjadi sorotan publik. Skandal ini bukan hanya sekadar permainan angka dalam perubahan nilai Research Octane Number (RON) dari 90 ke 92 atau sekadar BBM oplosan.
Lebih dari itu, kasus ini merupakan kejahatan yang terstruktur dari hulu ke hilir selama lima tahun terakhir, mencakup tender curang, mark-up biaya impor, hingga dugaan praktik kecurangan lainnya yang kini tengah diusut oleh aparat penegak hukum.
Saat ini, setidaknya sembilan orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Mereka antara lain adalah Rifan Haan (Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga), Sani Dinar Saifudin (Direktur Feedstock dan Produk Optimasi PT Pertamina Internasional), serta beberapa pejabat lain dari berbagai anak perusahaan Pertamina. Kemungkinan besar, jumlah tersangka masih akan bertambah seiring dengan berkembangnya penyidikan.
Modus Operandi Korupsi
Salah satu skema utama dalam kasus ini adalah manipulasi suplai minyak dalam negeri. Pejabat terkait di Pertamina Patra Niaga diduga secara sengaja menolak minyak mentah lokal dengan alasan kualitas yang buruk. Padahal, berdasarkan hasil penyidikan, minyak tersebut sebenarnya layak diolah. Dengan menekan produksi dalam negeri, mereka menciptakan kebutuhan impor yang besar, membuka peluang bagi praktik korupsi di sektor impor minyak.
Penunjukan rekanan impor pun dilakukan tanpa melalui proses tender yang transparan. Vendor yang ditunjuk diduga memiliki koneksi langsung dengan pejabat yang terlibat, sehingga memungkinkan terjadinya mark-up harga minyak dan ongkos pengiriman. Informasi yang beredar menyebutkan bahwa pembayaran fee ilegal kepada broker dan pejabat terkait mencapai 13-15% dari nilai impor.
Selain itu, praktik curang lainnya adalah permainan kualitas bahan bakar. Minyak impor yang dibeli sebenarnya memiliki RON 90, tetapi dalam dokumen transaksi, dilaporkan sebagai RON 92. Dengan mencampurkan minyak berkualitas lebih rendah dengan zat aditif tertentu, mereka menciptakan BBM yang diklaim setara dengan Pertamax (RON 92), padahal secara teknis hasilnya tidak sesuai dengan standar yang seharusnya. Hal ini tidak hanya merugikan konsumen dari segi harga yang lebih tinggi, tetapi juga berdampak pada performa mesin kendaraan yang dapat mengalami gangguan akibat penggunaan bahan bakar yang tidak sesuai.
Dampak Ekonomi dan Tuntutan Transparansi
Korupsi ini diperkirakan merugikan masyarakat hingga Rp192 triliun per tahun selama lima tahun terakhir, dengan total potensi kerugian mencapai Rp1 kuadriliun. Angka ini masih menjadi perdebatan, mengingat metode perhitungannya melibatkan banyak faktor, seperti kompensasi BBM dari APBN.
Kasus ini juga menunjukkan bagaimana kebijakan energi di Indonesia dapat dimanipulasi oleh kepentingan segelintir pihak demi keuntungan pribadi. Padahal, sektor energi adalah salah satu tulang punggung ekonomi negara yang seharusnya dikelola dengan transparansi dan akuntabilitas tinggi.
Pemerintah kini dituntut untuk mengambil langkah tegas dalam menindaklanjuti skandal ini. Reformasi total di tubuh Pertamina dan evaluasi kebijakan energi menjadi hal yang mendesak. Jika tidak ditangani dengan baik, kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam mengelola sektor strategis seperti energi akan semakin menurun.
Kasus ini sekaligus menjadi ujian bagi aparat penegak hukum untuk membuktikan bahwa hukum dapat ditegakkan tanpa pandang bulu. Masyarakat menanti transparansi penuh dan langkah konkret dalam pemberantasan korupsi di tubuh BUMN.