TERKINI "Ketika Pemerintah Tak Mau Mendengar, Jalanan yang Berbicara" ledakan emosi masyarakat
Jakarta - Gelombang demonstrasi yang awalnya berlangsung damai kembali berujung anarkis di sejumlah wilayah Indonesia. Di Jakarta, aksi yang dipicu tewasnya Affan Kurniawan (21), pengemudi ojek daring yang dilindas kendaraan taktis Brimob, berubah menjadi amukan massa hingga menyebabkan kerusakan parah di fasilitas umum.
Menurut H (22), warga yang turut menyaksikan aksi di sekitar kawasan Senayan, ledakan emosi masyarakat adalah bentuk kekecewaan yang menumpuk terhadap pemerintah dan DPR.
“Saya tidak bisa menyudutkan rakyat. Ini bentuk kemarahan yang sudah tidak terbendung oleh sikap arogansi DPR. Tapi rakyat juga harus lebih jeli, jangan mudah terprovokasi,” ujarnya, Minggu (08/11).
Ia menilai tindakan anarkis tidak muncul tanpa sebab, melainkan karena jalur aspirasi rakyat yang semakin tertutup. “Kalau pemerintah lebih sigap dan terbuka, kerusakan seperti ini tidak akan terjadi,” tambahnya.
Pandangan serupa disampaikan B (22), seorang mahasiswa pengamat gerakan sosial. Menurutnya, anarkisme tumbuh ketika ketidakadilan sosial terus dibiarkan.
“Anarkisme itu bukan hanya kekerasan, tapi ekspresi dari rakyat yang merasa tidak punya tempat bicara. Selama pemerintah membatasi kritik, kemarahan akan selalu mencari jalan,” ungkapnya.
Ia mencontohkan aksi Kamisan yang berlangsung damai selama belasan tahun namun tidak banyak direspons oleh pemerintah. “Kalau suara rakyat tak didengar, wajar kalau perlawanan jadi lebih keras,” tambahnya.
Berbeda dengan itu, Y (21) menilai tindakan anarkis adalah bentuk kehilangan kendali diri di tengah situasi emosional.
“Demo boleh, itu hak rakyat. Tapi jangan sampai merusak fasilitas umum. Itu malah bikin citra gerakan jadi buruk,” katanya.
Sementara V (21) melihat bahwa aparat turut memperkeruh suasana dengan tindakan represif.
“Biasanya mulai ricuh setelah magrib. Massa sudah capek, aparat mulai arogan, akhirnya bentrok. Pemerintah harusnya membuka dialog, bukan membungkam,” ujarnya.
Kemarahan warga diperparah dengan tewasnya korban sipil dan sikap aparat yang dianggap berlebihan. Beberapa saksi mata menyebut gas air mata masih terasa hingga pagi hari di kawasan Senayan dan sekitar Polda Metro Jaya. “Perih sekali rasanya, apalagi yang bawa anak kecil,” kata Sunyoto (47), pengendara motor yang terjebak di lokasi.
Di sisi lain, Glenn (27), warga Jakarta Selatan, mengaku terjebak 1,5 jam di Tol Kebon Jeruk akibat blokade massa.
“Saya bisa paham kenapa orang marah, tapi jangan sampai fasilitas umum jadi korban. Semua akhirnya rugi,” ujarnya.
Meski kerusakan masih terlihat, beberapa warga menilai langkah cepat Pemerintah Provinsi DKI untuk memperbaiki halte dan menggratiskan transportasi selama seminggu cukup membantu. Namun, mereka berharap pemerintah tidak hanya sibuk memperbaiki infrastruktur, tapi juga memperbaiki hubungan komunikasi antara rakyat dan penguasa.
“Kalau suara rakyat terus diabaikan, ledakan seperti ini akan berulang. Pemerintah harus belajar mendengar sebelum rakyat kehilangan sabar lagi,” tutup H.
Sumber: Wawancara lapangan dengan warga dan mahasiswa Jakarta (H, B, Y, V – 08/11/2025) dan data pendukung dari Kompas.id (Glenn, sunyoto), MetroTV News, DetikNews (Agustus–September 2025).
Penulis: Bisathul lais

