X

GAYA HIDUP Apa Itu Toxic Positivity? Ini dia Pengertian dan Dampaknya

06 Juli 2023 21:52 | Oleh Agung Handayanto

Toxic positivity merupakan asumsi di mana Anda harus berpikir positif dan menganggap semuanya baik-baik saja, padahal sebenarnya tidak. Cara berpikir tersebut menjadi strategi penghindaran yang digunakan untuk mendorong dan menghilangkan ketidaknyamanan internal. Namun, ketika seseorang menghindari emosinya, justru mereka akan menyebabkan lebih banyak kerugian.

Apa itu toxic positivity

Dilansir dari Healthline, toxic positivity adalah asumsi, baik oleh diri sendiri atau orang lain, bahwa mereka harus berpikir positif, terlepas dari rasa sakit emosional atau situasi sulit yang dialami. Dengan toxic positivity, emosi negatif dipandang buruk secara inheren. Sebaliknya, kepositifan dan kebahagiaan didorong secara kompulsif. Ini juga menjadikan pengalaman emosional manusia yang otentik akan ditolak, diminimalkan, atau dibatalkan.

Tekanan untuk selalu tampil “BAIK-BAIK SAJA” membatalkan rentang emosi yang sebenarnya umum dialami semua orang. Itu memberi kesan bahwa Anda tidak sempurna ketika merasa tertekan, yang dapat terinternalisasi dalam keyakinan inti bahwa Anda tidak mampu atau lemah. Menilai diri sendiri karena merasakan sakit, sedih, cemburu mengarah pada apa yang disebut sebagai emosi sekunder, seperti rasa malu, yang jauh lebih intens dan maladaptif.

Bahaya dan risiko toxic positivity

1. Mengabaikan bahaya

nyata Sebuah tinjauan naratif tahun 2020 dilakukan terhadap 29 studi tentang kekerasan dalam rumah tangga. Hasilnya bahwa, bias positif dapat menyebabkan orang yang mengalami pelecehan cenderung meremehkan keparahannya dan tetap berada dalam hubungan yang penuh kekerasan. Optimisme, harapan, dan pengampunan meningkatkan risiko orang-orang tetap bersama pelaku kekerasan dan menjadi sasaran pelecehan.

2. Meremehkan kehilangan Duka dan kesedihan adalah hal yang normal saat menghadapi kehilangan. Adanya toxic positivity membuat hal tersebut seolah diremehkan. Seseorang yang berulang kali mendengar pesan untuk sabar atau tetap bahagia mungkin merasa seolah-olah orang lain tidak peduli dengan rasa kehilangannya. Orang tua yang kehilangan anak, misalnya, mungkin merasa bahwa anaknya tidak penting bagi orang lain, dan justru menambah kesedihan mereka.

3. Mengisolasi diri Orang yang merasakan toxic positivity seperti tekanan untuk tersenyum saat menghadapi kesulitan bisa cenderung tidak akan mencari dukungan.Mereka mungkin merasa terisolasi atau malu dengan perasaan mereka. Stigma juga dapat menghalangi seseorang untuk mencari perawatan kesehatan mental.

4. Masalah komunikasi Setiap hubungan memiliki tantangan dan toxic positivity mendorong orang untuk mengabaikan tantangan ini, sehingga selalu fokus pada hal positif. Pendekatan ini dapat menghancurkan komunikasi dan kemampuan untuk memecahkan masalah dalam hubungan.

5. Harga diri rendah Setiap orang terkadang mengalami emosi negatif dan toxic positivity mendorong orang untuk mengabaikan emosi negatif mereka. Meskipun menahannya dapat membuat mereka merasa lebih kuat. Karena jika seseorang tidak dapat merasa positif, mereka mungkin merasa seolah-olah gagal.