X

GAYA HIDUP Menyelami Makna Sumbu Kosmologis Kraton Yogyakarta yang Diakui sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO

21 Oktober 2023 06:48 | Oleh TB Setyawan

DKYLB.COM (21/10/2023) –  Kehidupan manusia Jawa dipenuhi dengan filosofi mendalam yang sering tercermin dalam simbolisasi di berabgai hal.

Di Kraton Yogyakarta, simbolisme yang kental dengan nilai-nilai filosofi tersebut terlihat pada sumbu kosmologis berupa garis lurus antara keraton, Tugu Pal Putih hingga gunung Merapi.

Hal yang sama sebenarnya juga terdapat di Candi Borobudur yang bila ditarik garis lurus dengan Candi Pawon dan Candi Mendut, konon bergaris lurus hingga ke Kakbah di Makkah Al Mukaromah.

Baca Juga: Jakarta Bakal Diguyur Hujan pada Sabtu Siang dan Malam

Adapun sumbu di Yogyakarta dikenal sebagai The Cosmological Axis of Yogyakarta and its Historic Landmarks, atau Sumbu Kosmologis Yogyakarta dan penanda bersejarahnya.

Sumbu kosmologis ini kini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO. 

Penetapan ini diumumkan pada pertemuan Komite Warisan Dunia (World Heritage Committee/WHC) UNESCO ke-45, pada 18 September 2023 di Riyadh, Saudi Arabia.

Penetapan tersebut menjadikan Sumbu Kosmologis Yogyakarta sebagai Warisan Budaya Dunia asal Indonesia ke-6 yang telah diakui UNESCO, yakni sbb:

  1. Kompleks Candi Borobudur (1991)
  2. Kompleks Candi Prambanan (1991)
  3. Situs Prasejarah Sangiran (1996)
  4. Sistem Subak sebagai Manifestasi Filosofi Tri Hita Karana (2012) 
  5. Tambang Batubara Ombilin, Sawahlunto (2019)
  6. Sumbu Kosmologis Yogyakarta (2023)

Laman Kemenparekraf menyebutkan ditetapkannya Sumbu Kosmologis Yogyakarta sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO diseleksi dari beberapa kriteria.

Baca Juga: Polisi Tangkap Suami Penganiaya Istri Hingga Tewas di Bojongede

Di antaranya pertukaran nilai dan gagasan penting antara berbagai sistem kepercayaan, seperti animisme, Hindu, Buddha, Islam Sufi, dan pengaruh dari Barat.

Sedangkan laman kemendikbud.go.id, menyebutkan Sumbu Kosmologis Yogyakarta adalah sumbu imajiner yang terbentang sepanjang 6 km dari Utara ke Selatan.

Sumbu imajiner tersebut membentuk garis lurus yang ditarik dari Panggung Krapyak (selatan), Keraton Yogyakarta (tengah), dan Tugu Pal Putih (Tugu Golong Gilig) atau Tugu Yogyakarta (utara). 

Namun, Sumbu Kosmologis di Yogyakarta tidak hanya sekadar sebagai garis imajiner saja. Konon, garis tersebut memiliki sisi spiritual yang diambil dari konsepsi Jawa. Sumbu Kosmologis Yogyakarta merupakan gagasan Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755). 

Kala itu, Sultan Hamengku Buwono I membangun Kota Yogyakarta berdasarkan konsep prinsip Jawa yang mengacu pada bentang alam sekitar.

Baca Juga: Legislator: Tingginya Kasus Perceraian Butuh Perhatian Serius Pemerintah

Prinsip utama yang dijadikan dasar pembangunannya adalah Hamemayu Hayuning Bawono yang memiliki arti: membuat bawono (alam) menjadi hayu (indah) dan rahayu (selamat). 

Akhirnya, konsep tersebut diwujudkan dengan menciptakan sumbu imajiner yang melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam berdasarkan lima unsur: api (dahana) dari Gunung Merapi, tanah (bantala) dari bumi Ngayogyakarta, air (tirta) dari Laut Selatan, angin (maruta), dan akasa (ether).

Garis imajiner Sumbu Kosmologis Yogyakarta menggambarkan perjalanan siklus hidup manusia berdasarkan konsepsi Sangkan Paraning Dumadi. Contoh, perjalanan dari Panggung Krapyak ke Keraton Yogyakarta mewakili konsep sangkan (asal) dan proses pendewasaan manusia. 

Baca Juga: Pertamina dan PETRONAS Gantikan Shell di Blok Masela

Hal ini didasari Panggung Krapyak yang bermakna awal kelahiran. Itu mengapa, perjalanan Panggung Krapyak ke arah Keraton Yogyakarta melambangkan konsep sangkaning dumadi: perjalanan manusia sejak di dalam rahim, beranjak dewasa, hingga menikah dan punya anak.

Di sisi lain, warna putih pada Tugu Yogyakarta melambangkan kesucian hati. Hal inilah yang menjadikan perjalanan dari Tugu Yogyakarta ke arah Keraton Yogyakarta melambangkan perjalanan manusia menghadap Sang Pencipta, sesuai dengan konsep paraning. (*)


ECO BRANDING BERSAMA “@WALKWITHDUASATU “ : KISAH PETUALANGAN MAHASISWA FIKOM UP DI DESA SUKAJADI, KEC TAMANSARI KABUPATEN BOGOR

Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah salah satu bentuk pengabdian mahasiswa kepada masyarakat yang tidak hanya menitikberatkan pada praktik langsung di lapangan, tetapi juga pada pembelajaran aspek sosial. Kuliah Kerja Nyata juga menjadi syarat pemenuhan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang perlu dipenuhi oleh mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change).

05 Agustus 2025 12:30 | Bogor

Inovatif! Program Eco Green KKN Mahasiswa Ajak Siswa SMKN 47 dan Warga Pejaten Barat Kelola Sampah Plastik Menjadi Bernilai

Melalui program KKN Universitas Pancasila Eco Green, mahasiswa bekerja sama dengan siswa SMKN 47 Jakarta serta warga Kelurahan Pejaten Barat, khususnya RT 2 RW 7, dengan mengolah botol plastik bekas menjadi produk kerajinan bernilai jual. Program ini bertujuan menumbuhkan kesadaran lingkungan sekaligus membangun keterampilan kreatif dan jiwa kewirausahaan di kalangan pelajar dan masyarakat. Mahasiswa KKN terlibat aktif dalam memberikan pelatihan, pendampingan pembuatan kerajinan, serta edukasi dasar pemasaran produk. Kegiatan ini mendapat sambutan positif dari siswa dan warga karena dinilai bermanfaat, aplikatif, dan berdampak langsung bagi lingkungan sekitar.

31 Juli 2025 14:59 | Terkini

REVISI UU TNI DALAM CERMIN MEDIA: KRISIS KOMUNIKASI, KRISIS DEMOKRASI

Pemerintah dan DPR tengah mengajukan revisi UU TNI yang memunculkan kembali diskursus lama tentang “dwifungsi militer”. Meski diklaim bertujuan memperkuat efektivitas pertahanan, substansi revisi justru menuai kritik keras karena membuka kembali ruang bagi prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil—praktik yang pernah jadi simbol represi Orde Baru. Isu ini tidak hanya kontroversial secara hukum, tetapi juga menimbulkan krisis komunikasi publik. Pemerintah nyaris tidak menyampaikan narasi penyeimbang secara strategis. Akibatnya, media mengambil alih ruang wacana dan membentuk persepsi negatif secara masif.

21 Juli 2025 00:32 | Nasional

Membangun Narasi atau Mengaburkan Realitas? Fenomena Dedi Mulyadi Sang Gubernur Konten di era Demokrasi Digital

Belakangan ini, nama Dedi Mulyadi kembali menjadi sorotan. Bukan karena posisinya di parlemen, bukan pula karena polemik legislatif. Yang membuatnya terus dibicarakan adalah kehadirannya yang nyaris harian di layar ponsel kita—dalam video-video yang memperlihatkan dirinya “blusukan”, membantu masyarakat, menyentuh persoalan lokal dengan narasi besar: kehadiran negara di tengah rakyat kecil. Sekilas, ini terlihat seperti bentuk ideal dari komunikasi politik. Figur publik yang tampil tanpa jarak, menggunakan bahasa sederhana, dan menjangkau rakyat lewat media sosial alih-alih podium formal. Tapi justru di situlah letak pertanyaannya: apakah semua ini sungguh autentik? Atau apakah ini hanya kemasan citra?

18 Juli 2025 20:59 | Terkini

TRAGEDI PENDAKI BRASIL DI RINJANI: KOMUNIKASI KRISIS DAN PROTOKOL KESELAMATAN YANG TERLAMBAT DIRESPONS

Tragedi di Gunung Rinjani dan Krisis Komunikasi Pemerintah Gunung Rinjani kembali jadi sorotan dunia, kali ini karena tragedi pendaki asal Brasil yang meninggal di jalur pendakian. Publik mempertanyakan tanggung jawab pengelolaan keamanan, kesiapan petugas, dan prosedur penyelamatan di destinasi wisata sekelas Rinjani. Sayangnya, respons pemerintah terkesan datar dan normatif. Tidak ada klarifikasi yang kuat atau narasi empatik kepada keluarga korban. Krisis ini justru menunjukkan lemahnya strategi komunikasi, transparansi, dan kesadaran akan pentingnya manajemen risiko pariwisata. Tragedi ini harus menjadi titik balik: pariwisata bukan hanya promosi, tetapi juga soal keselamatan, kesiapan, dan komunikasi publik yang manusiawi. Dalam era digital, setiap tragedi bisa viral dan merusak citra jika tidak ditangani dengan baik. Pemerintah harus belajar bersikap cepat, jujur, dan tangguh dalam menjawab kegelisahan publik, karena kredibilitas institusi dipertaruhkan.

18 Juli 2025 17:39 | Terkini