
GAYA HIDUP Menyelami Makna Sumbu Kosmologis Kraton Yogyakarta yang Diakui sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO
DKYLB.COM (21/10/2023) – Kehidupan manusia Jawa dipenuhi dengan filosofi mendalam yang sering tercermin dalam simbolisasi di berabgai hal.
Di Kraton Yogyakarta, simbolisme yang kental dengan nilai-nilai filosofi tersebut terlihat pada sumbu kosmologis berupa garis lurus antara keraton, Tugu Pal Putih hingga gunung Merapi.
Hal yang sama sebenarnya juga terdapat di Candi Borobudur yang bila ditarik garis lurus dengan Candi Pawon dan Candi Mendut, konon bergaris lurus hingga ke Kakbah di Makkah Al Mukaromah.
Baca Juga: Jakarta Bakal Diguyur Hujan pada Sabtu Siang dan Malam
Adapun sumbu di Yogyakarta dikenal sebagai The Cosmological Axis of Yogyakarta and its Historic Landmarks, atau Sumbu Kosmologis Yogyakarta dan penanda bersejarahnya.
Sumbu kosmologis ini kini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO.
Penetapan ini diumumkan pada pertemuan Komite Warisan Dunia (World Heritage Committee/WHC) UNESCO ke-45, pada 18 September 2023 di Riyadh, Saudi Arabia.
Penetapan tersebut menjadikan Sumbu Kosmologis Yogyakarta sebagai Warisan Budaya Dunia asal Indonesia ke-6 yang telah diakui UNESCO, yakni sbb:
- Kompleks Candi Borobudur (1991)
- Kompleks Candi Prambanan (1991)
- Situs Prasejarah Sangiran (1996)
- Sistem Subak sebagai Manifestasi Filosofi Tri Hita Karana (2012)
- Tambang Batubara Ombilin, Sawahlunto (2019)
- Sumbu Kosmologis Yogyakarta (2023)
Laman Kemenparekraf menyebutkan ditetapkannya Sumbu Kosmologis Yogyakarta sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO diseleksi dari beberapa kriteria.
Baca Juga: Polisi Tangkap Suami Penganiaya Istri Hingga Tewas di Bojongede
Di antaranya pertukaran nilai dan gagasan penting antara berbagai sistem kepercayaan, seperti animisme, Hindu, Buddha, Islam Sufi, dan pengaruh dari Barat.
Sedangkan laman kemendikbud.go.id, menyebutkan Sumbu Kosmologis Yogyakarta adalah sumbu imajiner yang terbentang sepanjang 6 km dari Utara ke Selatan.
Sumbu imajiner tersebut membentuk garis lurus yang ditarik dari Panggung Krapyak (selatan), Keraton Yogyakarta (tengah), dan Tugu Pal Putih (Tugu Golong Gilig) atau Tugu Yogyakarta (utara).
Namun, Sumbu Kosmologis di Yogyakarta tidak hanya sekadar sebagai garis imajiner saja. Konon, garis tersebut memiliki sisi spiritual yang diambil dari konsepsi Jawa. Sumbu Kosmologis Yogyakarta merupakan gagasan Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755).
Kala itu, Sultan Hamengku Buwono I membangun Kota Yogyakarta berdasarkan konsep prinsip Jawa yang mengacu pada bentang alam sekitar.
Baca Juga: Legislator: Tingginya Kasus Perceraian Butuh Perhatian Serius Pemerintah
Prinsip utama yang dijadikan dasar pembangunannya adalah Hamemayu Hayuning Bawono yang memiliki arti: membuat bawono (alam) menjadi hayu (indah) dan rahayu (selamat).
Akhirnya, konsep tersebut diwujudkan dengan menciptakan sumbu imajiner yang melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam berdasarkan lima unsur: api (dahana) dari Gunung Merapi, tanah (bantala) dari bumi Ngayogyakarta, air (tirta) dari Laut Selatan, angin (maruta), dan akasa (ether).
Garis imajiner Sumbu Kosmologis Yogyakarta menggambarkan perjalanan siklus hidup manusia berdasarkan konsepsi Sangkan Paraning Dumadi. Contoh, perjalanan dari Panggung Krapyak ke Keraton Yogyakarta mewakili konsep sangkan (asal) dan proses pendewasaan manusia.
Baca Juga: Pertamina dan PETRONAS Gantikan Shell di Blok Masela
Hal ini didasari Panggung Krapyak yang bermakna awal kelahiran. Itu mengapa, perjalanan Panggung Krapyak ke arah Keraton Yogyakarta melambangkan konsep sangkaning dumadi: perjalanan manusia sejak di dalam rahim, beranjak dewasa, hingga menikah dan punya anak.
Di sisi lain, warna putih pada Tugu Yogyakarta melambangkan kesucian hati. Hal inilah yang menjadikan perjalanan dari Tugu Yogyakarta ke arah Keraton Yogyakarta melambangkan perjalanan manusia menghadap Sang Pencipta, sesuai dengan konsep paraning. (*)