
DUNIA KERJA Komunikasi Krisis Gagal: Pelajaran dari Krisis Kepercayaan PT Taspen
Penulis: Chelsea Verro Juvenia Triyanto
Mahasiswa S2 Komunikasi dan Media, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Pancasila.
DKYLB.com - Dalam dua tahun terakhir, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh kabar mengejutkan dari tubuh salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang selama ini dikenal mengelola dana pensiun dan tabungan hari tua bagi jutaan aparatur sipil negara: PT Taspen (Persero).
Laporan audit investigatif dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut adanya indikasi kerugian negara yang mencapai lebih dari satu triliun rupiah, akibat investasi yang diduga fiktif dan tidak melalui prosedur kehati-hatian sebagaimana mestinya.
Kejadian ini bukan sekadar kasus teknis pengelolaan keuangan, melainkan mencerminkan krisis kepercayaan yang mendalam terhadap tata kelola dana publik, khususnya yang menyangkut masa depan para pensiunan yang menggantungkan harapan pada lembaga tersebut.
Lebih lanjut, dalam pemberitaan oleh Detik.com (28 April 2025), BPK menjelaskan bahwa investasi tersebut tidak memiliki dokumen dan analisis risiko yang memadai, serta dilakukan secara melawan ketentuan internal perusahaan dan regulasi keuangan.
Keterangan ini memperkuat asumsi publik bahwa ada kelalaian sistemik dalam tata kelola investasi dana publik di tubuh PT Taspen.
Krisis yang Menggoyang Reputasi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, penanganan perkara investasi fiktif hampir rampung dan akan segera dilimpahkan ke persidangan yang diberitakan oleh Kompas.com (29 Maret 2025).
Krisis mencuat setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan adanya penyimpangan dalam investasi PT Taspen pada tahun 2023 yang menyebabkan kerugian besar.
Publik, terutama para pensiunan yang menjadi nasabah utama, mulai meragukan transparansi dan integritas manajemen. Di tengah kekhawatiran itu, respons komunikasi dari Taspen justru terkesan lambat, defensif, dan minim empati.
Seiring dengan bergulirnya pemberitaan di media massa arus utama, sorotan publik terhadap PT Taspen menjadi semakin intens. Menanggapi sorotan tersebut, manajemen PT Taspen melalui pernyataan yang dilansir Kompas.com (2 Mei 2025) justru membantah bahwa dana yang diinvestasikan bersifat fiktif, dan menyebut audit dari BPK masih belum final.
Baca Juga: Terungkap Dokumen Skripsi ini Dipastikan Palsu dengan Sejumlah Fakta yang Nyata
Pernyataan ini dinilai tidak cukup memberikan ketenangan, karena tidak dibarengi dengan langkah korektif nyata atau penjelasan yang lebih transparan mengenai bagaimana kasus tersebut akan ditangani.
Alih-alih segera merespons dengan strategi komunikasi yang sigap, empatik, dan transparan, perusahaan justru terlihat mengambil posisi bertahan dan cenderung menyalahkan pihak lain.
Dalam teori perbaikan citra yang dikembangkan oleh William Benoit (1997), organisasi dalam posisi krisis memiliki lima pilihan utama dalam menyusun strategi komunikasi, yakni penyangkalan (denial), pengalihan tanggung jawab (evasion of responsibility), pengurangan ofensif (reducing offensiveness), tindakan korektif (corrective action), dan permohonan maaf (mortification).
Sayangnya, langkah yang diambil Taspen terlihat lebih dekat pada bentuk denial dan evasion of responsibility, dengan pernyataan-pernyataan yang membantah secara langsung tudingan BPK, namun tidak disertai dengan langkah konkret yang dapat meyakinkan publik bahwa perusahaan tersebut tengah menangani krisis secara serius dan menyeluruh.
Bahkan, dalam salah satu rilis resmi yang diunggah melalui situs dan media sosial resmi, Taspen menyebut bahwa laporan tersebut belum final dan tidak mencerminkan keseluruhan proses investasi yang telah mereka lakukan.
Pendekatan semacam ini, alih-alih meredam krisis, justru memperpanjang spekulasi dan memicu reaksi negatif, terutama dari kalangan pensiunan yang merasa hak-haknya terancam.
Strategi Komunikasi Krisis: Defensif dan Minim Publikasi
Dalam perspektif teori komunikasi krisis yang dikembangkan oleh William Benoit (1997), strategi perbaikan citra dapat dibagi ke dalam lima kategori: denial, evasion of responsibility, reducing offensiveness, corrective action, dan mortification. Taspen cenderung menggunakan strategi denial dan evasion of responsibility.
Dalam pernyataan resminya, mereka membantah adanya investasi fiktif dan mengklaim bahwa audit tersebut belum final. Sayangnya, pendekatan ini tidak dibarengi dengan bukti proaktif atau langkah korektif yang nyata di ruang publik.
Kegagalan dalam menyampaikan pesan-pesan empati, jaminan keamanan dana, serta rencana perbaikan menjadi kelemahan utama komunikasi krisis Taspen.
Alhasil, publik melihat perusahaan ini lebih mementingkan menjaga citra daripada menyelesaikan masalah yang mendasarinya.
Media Komunikasi Digital: Digunakan, tapi Tidak Dimaksimalkan
Dalam era digital, komunikasi krisis tidak bisa hanya mengandalkan rilis media atau konferensi pers.
Saluran digital seperti media sosial, website resmi, dan platform video seperti YouTube adalah kanal penting untuk menjangkau publik dengan cepat dan transparan.
Sayangnya, PT Taspen belum maksimal dalam menggunakan media ini.
Di akun Instagram resmi mereka, tidak ada unggahan khusus yang menjelaskan isu ini secara rinci atau memberi ruang dialog kepada publik.
Website resminya hanya memuat satu rilis singkat yang bersifat satu arah. Padahal, teori komunikasi krisis digital menurut Coombs (2015) menyarankan pentingnya conversational voice dalam media sosial—yakni komunikasi dua arah yang personal dan responsif terhadap kecemasan publik.
Minimnya keterlibatan digital ini memperburuk kesan bahwa perusahaan tidak transparan dan enggan menghadapi krisis secara terbuka.
Saran Strategis: Berbasis Teori dan Praktik Komunikasi Krisis Modern
Mengacu pada teori Situational Crisis Communication Theory (SCCT) dari Timothy Coombs (2007), strategi komunikasi krisis seharusnya disesuaikan dengan tingkat tanggung jawab organisasi atas krisis yang terjadi. Dalam kasus Taspen, karena krisis bersifat preventable (dapat dicegah), maka tanggung jawab organisasi tinggi, dan strategi yang paling tepat adalah mortification (mengakui kesalahan) dan corrective action (menyampaikan solusi).
Langkah konkret yang dapat diambil meliputi:
- Pernyataan terbuka dengan empati tinggi, yang menjelaskan duduk perkara secara jujur dan mengakui kelemahan sistem.
- Pelibatan publik melalui dialog digital, seperti sesi Q&A melalui media sosial, forum daring, atau live streaming bersama manajemen.
- Peluncuran laman khusus krisis, yang mengonsolidasikan semua informasi dan perkembangan penanganan kasus agar mudah diakses oleh publik.
- Kolaborasi dengan pihak ketiga yang kredibel, seperti akademisi atau auditor independen, untuk menunjukkan itikad baik dan membangun kembali kepercayaan.
Dalam konteks digital, pendekatan ini sejalan dengan konsep digital crisis communication ecosystem yang disampaikan oleh Jin, Liu, & Austin (2014), di mana respons organisasi harus memperhitungkan kecepatan, dialogisitas, dan kehadiran di berbagai kanal digital yang digunakan oleh publik.
Penutup: Komunikasi Krisis adalah Investasi Reputasi
Krisis yang dialami PT Taspen menjadi bukti nyata bahwa komunikasi krisis bukan sekadar upaya pemadam kebakaran. Ia adalah investasi jangka panjang terhadap kepercayaan publik. Dalam era digital yang penuh keterbukaan dan interaksi instan, pendekatan komunikasi yang defensif, kaku, dan minim empati justru memperparah krisis reputasi.
Organisasi baik publik maupun swasta harus mulai menempatkan komunikasi krisis sebagai bagian dari strategi korporat, bukan hanya tugas tim PR yang muncul saat krisis terjadi. Transparansi, tanggung jawab, dan pemanfaatan media digital bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.
Daftar Pustaka
Benoit, W. L. (1997). Image Repair Discourse and Crisis Communication. Public Relations Review, 23(2), 177–186. https://doi.org/10.1016/S0363-8111(97)90023-0
Coombs, W. T. (2007). Protecting Organization Reputations During a Crisis: The Development and Application of Situational Crisis Communication Theory. Corporate Reputation Review, 10(3), 163–176. https://doi.org/10.1057/palgrave.crr.1550049
Jin, Y., Liu, B. F., & Austin, L. L. (2014). Examining the Role of Social Media in Effective Crisis Management: The Effects of Crisis Origin, Information Form, and Source on Publics’ Crisis Responses. Communication Research, 41(1), 74–94. https://doi.org/10.1177/0093650211423918