
TERKINI Strategi Komunikasi Krisis dan Peran Komunikasi Digital dalam Kasus Pagar Laut Tangerang
Penulis: Wanda Ilham Dani
Mahasiswa S2 Media dan Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Pancasila
Kasus pagar laut di Kabupaten Tangerang yang menyeruak ke ruang publik sejak awal 2024 menjadi salah satu polemik tata ruang dan agraria yang memantik perhatian luas. Pagar laut yang didirikan oleh pengembang swasta di atas wilayah pesisir dan laut—yang seharusnya menjadi milik publik—menghalangi akses nelayan dan merusak ekosistem pesisir. Di tengah maraknya perbincangan publik, aspek komunikasi krisis dan komunikasi digital menjadi elemen penting dalam memahami bagaimana isu ini berkembang dan ditangani. Artikel ini akan membahas secara komprehensif teori komunikasi krisis yang relevan, analisis peran komunikasi digital, serta rekomendasi strategis bagi para pemangku kepentingan.
Strategi Komunikasi Krisis: Teori dan Aplikasi
Untuk menganalisis pendekatan komunikasi dalam kasus ini, kita dapat menggunakan pendekatan Situational Crisis Communication Theory (SCCT) oleh W. Timothy Coombs. SCCT menekankan bahwa setiap krisis menuntut respons yang sesuai dengan persepsi tanggung jawab publik. Teori ini mengklasifikasikan krisis ke dalam tiga kategori: Victim Crisis – organisasi juga menjadi korban (misalnya bencana alam atau rumor tak berdasar). Accidental Crisis – terjadi karena kecelakaan atau faktor di luar kendali yang bersifat tidak disengaja. Preventable Crisis – krisis yang timbul karena kelalaian, pelanggaran etika, atau tindakan yang disengaja.
Dalam kasus pagar laut, krisis tergolong preventable karena pengembang diketahui melakukan penutupan wilayah laut publik secara fisik, diduga atas dasar penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) yang bermasalah. Respons ideal menurut SCCT adalah strategi defensif tinggi: full apology, corrective action, dan transparansi. Namun, yang terjadi justru adalah ketidakhadiran komunikasi dari pihak pengembang serta minimnya klarifikasi awal dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan pemerintah daerah. Tidak adanya strategi komunikasi yang proaktif sejak awal memperparah sentimen publik dan menurunkan kredibilitas para pihak.
Lebih lanjut, teori Image Restoration dari William Benoit memperjelas kegagalan pihak terkait dalam memulihkan citra. Teori ini menawarkan lima kategori strategi perbaikan citra: Denial: menyangkal tuduhan. Evasion of responsibility: menyalahkan pihak lain atau menyatakan ketidaktahuan. Reducing offensiveness: membandingkan krisis dengan hal yang lebih buruk, atau menunjukkan niat baik. Corrective action: menjanjikan perubahan dan perbaikan. Mortification: mengakui kesalahan dan meminta maaf.
Pihak pengembang cenderung mengambil strategi denial dan evasion, dan bahkan tidak muncul ke publik untuk memberikan klarifikasi. Di sisi lain, KKP dan ATR/BPN akhirnya melakukan tindakan korektif (pembatalan sertifikat laut dan pembongkaran pagar), namun langkah ini bersifat reaktif dan muncul setelah tekanan publik semakin tinggi.
Peran Komunikasi Digital: Arena Baru Pertarungan Narasi
Media sosial menjadi arena utama dalam membentuk opini publik dan tekanan terhadap kebijakan. Aktivis, jurnalis, serta masyarakat nelayan memanfaatkan platform digital seperti TikTok, Instagram, dan Twitter/X untuk menyuarakan keresahan, memperlihatkan video pagar laut, dan menyebarkan tagar seperti #PagarLaut, #SelamatkanLaut, dan #NelayanTangerang.
Narasi yang dibangun melalui komunikasi digital sangat kuat karena menggabungkan: Visualisasi langsung (video, foto) tentang dampak nyata pagar laut terhadap akses nelayan. Testimoni personal dari warga pesisir, yang membangkitkan empati. Kolaborasi dengan jurnalis dan LSM yang memperluas jangkauan isu.
Namun, pihak pengembang absen dalam ekosistem digital ini. Mereka tidak memiliki kanal digital yang aktif, tidak memberikan klarifikasi publik, dan gagal membangun narasi tandingan yang dapat memperkuat atau setidaknya menjelaskan posisi mereka. Pemerintah daerah pun lamban dalam merespons dan bahkan sempat terlihat membela penerbitan HGB yang kontroversial.
Sebaliknya, kementerian pusat seperti KKP dan ATR/BPN serta institusi seperti TNI AL akhirnya memanfaatkan kanal digital untuk memulihkan kepercayaan publik. Publikasi tindakan pembongkaran pagar laut di akun media sosial resmi menjadi langkah strategis yang menunjukkan akuntabilitas, walaupun datang setelah viralitas isu mencapai puncaknya.
Framing dan Pembentukan Opini Publik
Mengacu pada Framing Theory (Goffman, 1974; Entman, 1993), media dan masyarakat sipil membingkai kasus pagar laut sebagai bentuk ketimpangan ruang dan ketidakadilan terhadap masyarakat kecil. Narasi yang dibentuk bukan hanya soal pagar secara fisik, tapi juga simbol privatisasi ruang publik oleh korporasi besar. Dalam framing ini, pengembang dianggap merebut ruang hidup nelayan, dan pemerintah lokal dianggap menjadi fasilitatornya.
Framing tersebut berhasil karena: Narasi emosional dan moral – penderitaan nelayan dan simbolisme "laut dibatasi tembok." Minimnya kontra-framing – pihak lawan tidak aktif membentuk wacana tandingan. Amplifikasi oleh media daring alternatif seperti Narasi, Tempo, dan Mongabay. Viralitas dan algoritma digital yang mendukung penyebaran cepat konten pro-rakyat.
Dampak Komunikasi yang Tidak Terkelola
Minimnya strategi komunikasi krisis berdampak langsung pada: Kehilangan legitimasi publik oleh pengembang, penurunan kepercayaan terhadap pemerintah daerah dan BPN, terbangunnya solidaritas horizontal antar-warga pesisir serta meningkatnya tekanan terhadap kebijakan tata ruang dan pertanahan.
Secara strategis, ini menjadi pelajaran penting bahwa dalam krisis modern, pengelolaan komunikasi—khususnya di ruang digital—bukan hanya kebutuhan reputasi, tapi juga kebutuhan politik dan sosial.
Rekomendasi Strategis
Berdasarkan analisis di atas, berikut adalah rekomendasi yang bisa diambil: pembentukan tim komunikasi krisis lintas sektor di tingkat pusat dan daerah, pelatihan komunikasi digital untuk instansi pemerintah dan pengembang, pembuatan kanal digital partisipatif yang memungkinkan warga pesisir menyuarakan keluhan secara sistematis, transparansi dokumen dan proses hukum melalui website resmi dan media sosial serta kolaborasi narasi dengan tokoh lokal dan jurnalis independen.
Kesimpulan
Kasus pagar laut Tangerang adalah contoh nyata bagaimana absennya komunikasi krisis dan strategi komunikasi digital menyebabkan kekalahan dalam pertarungan narasi publik. Pengembang dan pemerintah lokal gagal menguasai percakapan publik, sementara masyarakat sipil berhasil memanfaatkan media digital untuk membentuk opini, menekan kebijakan, dan merebut perhatian nasional. Dalam era informasi, komunikasi bukan hanya pendukung, melainkan senjata utama dalam menghadapi krisis.
Daftar Pustaka
Benoit, W. L. (1997). Image repair discourse and crisis communication. Public Relations Review, 23(2), 177–186.
Coombs, W. T. (2007). Protecting organization reputations during a crisis: The development and application of Situational Crisis Communication Theory. Corporate Reputation Review, 10(3), 163–176.
Mongabay Indonesia. (2024). "Pagar Laut dan Sertifikat Laut: Krisis Akses Nelayan di Tangerang." Diakses dari: https://www.mongabay.co.id
Tempo. (2024). "Mengapa Ada Sertifikat di Tengah Laut?" Diakses dari: https://www.majalah.tempo.co
Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2024). "Aksi Pembongkaran Pagar Laut." [Instagram & YouTube Official Channel]
Narasi TV. (2024). "Nelayan Menggugat: Di Balik Tembok Laut PIK 2." [YouTube Series Investigasi]