
TERKINI Hati dan Emosi: 20 Tahun Album Debut The Brandals
Lagu pembuka yang dahsyat seringkali telah memenangkan setengah perjalanan sebuah album. Dua puluh tahun lalu, rilis Desember 2003, The Brandals meletakkan “Marching Menuju Maut” di urutan pertama debut albumnya.
Dari intro pukulan gitar dua chord yang renyah di senar-senar bawah, datang drum berderu primitif, lalu power chord dari gitar kedua menghajar bagai Pete Townshend membaling-balingkan tangannya di atas kriwil kabel hitam. Kemudian gitar pertama tadi mulai memainkan melodi pendek yang lekas diingat, ditebalkan gitar kedua dan cymbals yang jadi titik-titik hujam, hingga muncul vokal gusar-kasar-mentah bersama lirik yang sangat gerah.
Jejakkan kaki di tanah / Berbaris ke satu arah / Menuju dataran merah / Basah merah bersimbah darah // Pantang mundur, maju terus / Makin ke depan semakin seru / Siapkan nyali di hati / Api berkobar tak pernah mati
“Marching Menuju Maut” bergerak untuk semakin meledak-ledak, Menemani vokalis Eka Annash meneriakkan “menuju datangnya ajal” dengan ujung yang pecah, pemain bas Doddy Widyono telah memerosotkan jarinya untuk jerit bulat lebih tinggi, sebagai selamat datang pada interlude gitar sonik belantah.
Seingat gitaris Bayu Indrasoewaeman, awal lagu “Marching Menuju Maut” tercipta saat jamming di Bogor, di hari belum ada The Brandals. Bayu, gitaris Tony Dwi Setiaji, pemain drum Rully Annash, Doddy, bersama vokalis Edo Wallad pada awalnya membentuk band bernama The Dictator, kemudian berganti menjadi The Motives.
“Gue iseng bikin chord intro, terus Rully masuk isi drum, habis itu yang lain ngikut. Seperti biasa, Tony yang bikin reff-nya,” kenang Bayu tentang “Marching Menuju Maut”.
Ketika Edo digantikan Eka, The Motives berubah nama menjadi The Brandals, Eka menggarap lirik hingga menggenapkan lagu itu, terinspirasi dari beberapa film perang produksi Hollywood yang muncul di akhir 1990an seperti Saving Private Ryan, The Thin Red Line, Three Kings, juga geger insiden 9/11 dan Bom Bali.
“Kayaknya di era itu kita ikut terperangkap phobia global tentang terorisme yang sialnya terkonotasi dengan Islam. Jadi, kita sebagai negara muslim terbesar di dunia kena getahnya. Liriknya mengadaptasi kondisi masyarakat Indonesia yang masih jadi korban. Walaupun pemerintahan berganti dari era Orde Baru beralih ke pasca reformasi dengan kulit luar berbeda, tapi masih dijalankan lewat tangan opresi yang sama. Suatu saat kekuatan rakyat akan menggulingkan rezim tirani yang berkuasa untuk kedua kalinya. Dan gue ngebayangin lagu ini bakalan jadi soundtrack-nya. Begitu kira-kira,” jelas Eka akan buah penanya.
Saya pertama kali menonton The Brandals pada 15 Februari 2003 di BB’s Café yang menjadi “rumah” bagi kemunculan band-band independen Jakarta gelombang baru saat itu. Nama acara malam itu adalah “Kita” dengan empat identitas tertera— Batman, Culap, David, Nestee— yang siap memutar musik-musik kegemaran kita. Lalu ada juga DJ Keke, dan tiga band penampil: Seringai, The Upstairs, The Brandals.