X

NASIONAL Koperasi Merah Putih sebagai Mesin Politik 2029 untuk Petahana sekaligus Pencetak Cuan bagi Bisnis Perbankan Negara

21 Agustus 2025 14:30 | Oleh Tim DKYLB 01

Analisa kritis Agustinus Edy Kristiyanto tentang Koperasi Merah Putih

Jarang sekali pihak pakar dan oengamag yang bicara Koperasi Merah Putih (KMP) sebagai mesin politik 2029 untuk petahana sekaligus pencetak cuan bagi bisnis perbankan negara.

​​Kebanyakan yang saya simak bernada penjilat, seperti terselip rasa takut didepak dari kabinet atau dikorek-korek perkara lamanya, dengan berkata KMP adalah motor pembangkit ekonomi rakyat, kado terindah dari presiden atau meributkan potensi kredit macet yang akan merugikan bank (ah, yang benar?).


​Bagi saya, KMP bukan semata program pemberdayaan. Ia adalah skema yang rapi, masif, dan sistematis untuk menggelontorkan uang dalam jumlah besar ke basis kekuasaan politik hingga tingkat desa/kelurahan melalui keran perbankan. Sebenarnya itu semua murni berasal dari duit APBN juga. Cara mengucurkannya saja yang beda, mengauditnya pun bakal lebih susah.

​Model bisnis ini mengawinkan Dana Desa dan KMP. Pemerintah sudah menyebutkan pada 2026 akan dikucurkan Rp 83 triliun untuk KMP via bank Himbara (BBRI, BMRI, BBTN, BBNI) dan Dana Desa Rp 69,6 triliun.

​Per status ini dibuat, saya kutip situs resmi KMP, jumlah desa/kelurahan seluruh Indonesia sebanyak 83.762, sementara jumlah desa/kelurahan yang sudah membentuk KMP melalui Musyawarah Desa/Kelurahan sebanyak 81.500.


​Saya akan pakai perhitungan sesuai aturan dalam Peraturan Menteri Desa dan PDT Nomor 10/2025 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49/2025. Inilah dua kunci model bisnis KMP.

​Yang perlu diketahui orang banyak, dana itu bukanlah dari sinterklas tapi utang bank! Karena berupa utang maka ada bunganya. Karena ada bunganya maka bank dapat untung. Karena ada yang dapat untung maka biasanya banyak semut mendekati gula, banyak makelar, banyak rente.... Sudahlah, tahu sama tahu saja, meminjam kalimat presiden, "Kita sudah lama jadi orang Indonesia, bukan?"

Plafon maksimal per KMP Rp3 miliar, bunga 6% per tahun (tidak diatur flat atau efektif tapi saya pakai flat saja), tenor 72 bulan (6 tahun), masa tenggang (grace period, bayar bunga saja) 8 bulan.

​Kalau KMP batuk-batuk bayar cicilan atau mungkin tidak mau bayar sama sekali cicilan, maka ada yang namanya Dukungan Pengembalian Pinjaman yang diambil dari maksimal 30% dana desa. Anggaran Dana Desa 2026 sebesar Rp69,6 triliun dibagi 83.762 desa, maka per desa rata-rata Rp830,9 juta.

​Pinjaman yang didapat oleh KMP maksimal Rp500 juta boleh digunakan untuk dana operasional (gaji, kantor, dsb). ​Jika KMP untung/ada laba bersih maka 20%-nya untuk pemerintah desa.

​Mari kita hitung:

​Rata-rata plafon pinjaman: Rp1,01 miliar (Rp83 triliun dibagi 81.500 KMP).

​Cicilan bunga bulanan (bulan 1-8): Rp5,09 juta.

​Cicilan bulanan penuh (bulan 9-80): Rp21 juta.

Maksimal Dukungan Dana Desa yang dijadikan 'jaminan' cicilan bulanan: Rp20,77 juta (30% x Rp830,95 juta / 12 bulan).

​Selisih kekurangan cicilan: Rp230 ribu.

​Siapa saja yang untung dari skema semacam ini:

​Pertama, jelas, bank. Memberikan Rp1,01 miliar per KMP dengan bunga 6%, tenor 6 tahun menghasilkan keuntungan bunga Rp366,6 juta, yang jika dikalikan 81.500 KMP menghasilkan total cuan Rp29,8 triliun! Masalah bagaimana dari duit cuan ini ada yang mengalir untuk 'donasi' politik adalah urusan lain, yang tahu sendiri lah.

​Mau bisnis KMP ini apapun juga, risiko bagi bank rendah (mungkin nyaris tanpa risiko) sebab ada jaminan 30% dana desa, ini yang kata orang berpotensi moral hazard. Kalau pun selisih kekurangan cicilan Rp 230 ribu tidak dibayar sama sekali oleh KMP, itu cuma mengurangi cuan bank Rp 1,2 triliun.

​Yang untung berikutnya adalah pengurus KMP, yang kemungkinan besar diisi kader politik atau pendukung kekuasaan. Simpel saja: ada Rp 500 juta dana operasional per KMP yang jika dikalikan total 81.500 KMP berarti Rp 40,75 triliun. Artinya sama saja dengan bisa merawat loyalis politik tanpa harus keluar duit dari kantong pribadi. 

​Kepala desa/lurah/kepala daerah juga untung karena ada bagian 20% dari laba KMP. Kalau per tahun asumsikan saja KMP laba Rp 200 juta, maka total ada potensi Rp 3,2 triliun. Belum lagi ada potensi rawan suap-menyuap antara kepala desa/kepala daerah dan pengurus koperasi karena untuk dapat kredit bank butuh tanda tangan kepala desa/kepala daerah sebagai syarat bank.

​Berikutnya adalah vendor yang dekat dengan pengurus koperasi atau kekuasaan. Jika per KMP alokasikan Rp 100 juta untuk bimtek atau kegiatan lain saja maka total seluruh KMP ada Rp 8,15 triliun duit yang bisa dibagi-bagi.

​Siapa rugi? Siapa yang haknya berkurang? Tak usah jauh-jauh, ya, masyarakat desa yang 30% dana desanya dijadikan jaminan utang bank sehingga berkurang pula haknya untuk pembangunan.

​KMP memang akan menggerakkan ekonomi tapi kebanyakan ekonominya pengurus koperasi, kepala desa/kepala daerah, vendor, dan mereka yang terlibat dalam model bisnis ini, sementara sebagian besar masyarakat akan jadi penonton saja sambil menunggu pemilu berikutnya tiba dan disadari atau tidak dari hari ke hari akan semakin banyak jargon untuk memilih calon yang paling memberikan kado terindah buat masyarakat, memberdayakan desa, motor pembangunan ekonomi, bapak koperasi, bapak pangan.

​Ingat, pemilih terbanyak dalam pemilu ada di desa, bukan di Menteng. Apalagi masa jabatan kepala desa kini sudah diubah menjadi 8 tahun dan dapat menjabat paling banyak 2 periode, baik berturut-turut maupun tidak.

​Tidak jelas apakah ini sebuah kemajuan atau kemunduran. Jika zaman raja Jawa dulu orang cukup dilempar bansos dan kaus untuk memilih, sekarang cara itu mungkin lebih "modern". "Bansosnya" kini disalurkan melalui sebuah institusi modern bernama bank, lengkap dengan mekanisme utang dan bunga yang membelit.

​Salam,

AEK.


ECO BRANDING BERSAMA “@WALKWITHDUASATU “ : KISAH PETUALANGAN MAHASISWA FIKOM UP DI DESA SUKAJADI, KEC TAMANSARI KABUPATEN BOGOR

Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah salah satu bentuk pengabdian mahasiswa kepada masyarakat yang tidak hanya menitikberatkan pada praktik langsung di lapangan, tetapi juga pada pembelajaran aspek sosial. Kuliah Kerja Nyata juga menjadi syarat pemenuhan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang perlu dipenuhi oleh mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change).

05 Agustus 2025 12:30 | Bogor

Inovatif! Program Eco Green KKN Mahasiswa Ajak Siswa SMKN 47 dan Warga Pejaten Barat Kelola Sampah Plastik Menjadi Bernilai

Melalui program KKN Universitas Pancasila Eco Green, mahasiswa bekerja sama dengan siswa SMKN 47 Jakarta serta warga Kelurahan Pejaten Barat, khususnya RT 2 RW 7, dengan mengolah botol plastik bekas menjadi produk kerajinan bernilai jual. Program ini bertujuan menumbuhkan kesadaran lingkungan sekaligus membangun keterampilan kreatif dan jiwa kewirausahaan di kalangan pelajar dan masyarakat. Mahasiswa KKN terlibat aktif dalam memberikan pelatihan, pendampingan pembuatan kerajinan, serta edukasi dasar pemasaran produk. Kegiatan ini mendapat sambutan positif dari siswa dan warga karena dinilai bermanfaat, aplikatif, dan berdampak langsung bagi lingkungan sekitar.

31 Juli 2025 14:59 | Terkini