DUNIA KERJA Aksi di DPR, Mahasiswa Minta Revisi UU TNI Dikaji Ulang Demi Tegaknya Supremasi Sipil
Jakarta - Penolakan terhadap Revisi Undang-Undang TNI terus menguat
di kalangan mahasiswa dan masyarakat sipil. Dalam sejumlah aksi di depan Gedung
DPR, kawasan Semanggi, Jakarta, massa menilai revisi ini berpotensi memperluas
ruang TNI ke jabatan sipil dan bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dalam
sistem demokrasi.
Gelombang kritik mulai berkembang sepanjang 2024, menguat di ruang
digital pada Maret 2025, hingga berujung pada aksi massa di jalan. Demonstrasi
digawangi Aliansi Gerakan Mahasiswa Bersama Rakyat (GEMARAK) bersama Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari sejumlah perguruan tinggi.
Salah satu peserta aksi berinisial L (21) menilai revisi ini
membuka peluang peran TNI melampaui tugas pokok dan fungsinya. “TNI sudah
memiliki tupoksi yang jelas sebagai penjaga pertahanan dan keamanan negara.
Jika masuk ke ranah sipil, akan terjadi tumpang tindih kewenangan. Ini keliru
dalam negara demokrasi,” ujar L saat diwawancarai Senin (10/11).
Narasumber kedua, Y (22), menilai proses pembahasan legislasi
berjalan tanpa pelibatan publik yang memadai. “Kami menolak aturan yang membuka
ruang militer masuk ke urusan sipil dan politik. Tujuan aksi ini agar
masyarakat mengetahui dan dapat menyampaikan pendapat sebelum undang-undangnya
disahkan,” kata Y, yang mengaku pertama kali mengikuti isu tersebut melalui
Twitter sebelum akhirnya turun langsung dalam aksi di DPR.
Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah revisi Pasal 47 UU TNI,
yang dinilai memberi peluang bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan di
kementerian dan lembaga sipil, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan,
BNPB, BNPT, hingga Kejaksaan Agung.
Menurut narasumber H (22), kebijakan tersebut berpotensi membatasi
ruang ekspresi dan kebebasan sipil, termasuk di lingkungan akademik. “TNI
bertugas menjaga keamanan dan pertahanan negara, bukan membuat atau menjalankan
kebijakan sipil. Jika ini terjadi, ruang kritis mahasiswa bisa semakin sempit,
bahkan otonomi sipil di sektor pendidikan dapat terdampak,” ujarnya.
Para narasumber juga menyoroti adanya memori historis yang masih
melekat terkait dwifungsi militer di era Orde Baru. Menurut mereka, penolakan
ini bukan soal aktor penggerak, melainkan bentuk kekhawatiran akan menyempitnya
ruang demokrasi. “Ini bukan agenda kelompok tertentu, melainkan keresahan
rakyat. Proses legislasi tidak boleh tergesa-gesa dan harus melibatkan semua
elemen masyarakat,” tegas H.
Selain aksi di ruang publik, isu ini juga berkembang pesat di media
sosial dan ruang diskusi mahasiswa. Para demonstran menilai aksi turun ke jalan
menjadi langkah terakhir setelah aspirasi dinilai kurang diakomodasi melalui
jalur formal. Mereka menuntut penundaan pengesahan, kajian ulang substansi,
serta pembukaan ruang dialog yang lebih transparan dan partisipatif.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi terbaru
dari DPR maupun Kementerian Pertahanan terkait kemungkinan penundaan atau
revisi ulang substansi dalam pembahasan RUU TNI. Mahasiswa dan elemen
masyarakat sipil menegaskan akan terus melakukan aksi lanjutan apabila aspirasi
publik tetap diabaikan.
Sumber:
Narasumber yaitu L, Y, H (wawancara langsung, November 2025)
1.
Tempo: “Reaksi
Mahasiswa hingga Masyarakat Sipil atas Pengesahan Revisi UU TNI”, 8xz2025
2. BBC Indonesia: “Demonstrasi mahasiswa menentang UU TNI
berlangsung maraton dan menyebar ke banyak kota, apa maknanya?”
3. Kompas.id: Mengapa Kalangan Masyarakat Sipil dan Akademisi Menolak Keras Revisi Undang-Undang TNI?
Penulis:
Muhammad Jundi Prasetya

