TERKINI GEROBAK PENDORONG EKONOMI LOKAL, KISAH UMKM KENTANG GORENG BERTAHAN DI ERA DIGITAL
Di
tengah hiruk pikuk persaingan kuliner yang kini modern dan didominasi gerai
waralaba, sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), tetap menjadi urat nadi
perekomomian akar rumput. Sebuah gerobak kentang goreng sederhana berwarna biru
cerah, yang rutin mangkal di area Jalan Cendana, Depok, menjadi salah satu
reprsentasi ketangguhan tersebut. Bukan sekadar penjual cemilan renyah, UMKM
ini adalah cerminan perjuangan adaptasi ditengah fluktuasi harga bahan pokok
dan tuntutan promosi digital. Liputan ini menyoroti bagaimana sebuah bisnis
rumahan, dengan modal dan sumber daya terbatas, mampu bertahan, bahkan
berkembang, berkat strategi cerdas dan kegigihan pemiliknya. Tujuannya adalah
menggali lebih dalam model bisnis, tantangan operasional, inovasi, serta dampak sosial ekonomi yang diciptakan oleh
kehadiran UMKM kentang goreng ini bagi masyarakat sekitar.
Script Wawancara
Wawancara mendalam
dilakukan dengan dua sumber utama: pemilik usaha dan konsumen, untuk
mendapatkan perspektif komprehensif.
Sumber Utama : Pak Budi (45 tahun ), Pemilik Gerobak Kentang Goreng
Pewawancara : “Pak
Budi, bisa diceritakan sejak kapan Bapak memulai usaha kentang goreng ini dan
apa motivasi dibaliknya? “
Pak Budi : “ Usaha
ini saya rintis sekitar tiga tahun lalu, Mba. Awalnya dari hobi ngemil kentang goreng, lalu
berpikir untuk mencoba jualan sendiri. Modalnya minimum, hanya gerobak bekas
yang saya cat ulang jadi biru ini, dan wajan saya beli. Dan saya lihat
potensi disini karena cemilan seperti
kentang goreng ini digemari disemua kalangan, dari anak-anak Sampai dewasa.
Kuncinya di bumbu dan teksturnya yang renyah. “
Pewawancara : “Dengan
dinamika harga bahan baku yang sering bergejolak, terutama minyak goreng dan
kentang, bagaimana strategi bapak menyiasatinya agar tetap bisa menawarkan
harga bersaing?”
Pak Budi : "Ini tantangan
paling besar. Kalau harga bahan baku naik drastis, saya tidak bisa langsung
menaikkan harga jual di sini, Mba. Pelanggan bisa kaget atau lari ke tempat
lain. Biasanya, saya coba mengurangi sedikit margin keuntungan. Kami punya
pemasok langganan langsung dari pasar induk di Kramat Jati, jadi bisa sedikit
menekan biaya karena tidak lewat banyak perantara. Kadang, porsi juga sedikit
disesuaikan, tapi sebisa mungkin tetap menjaga kualitas dan kuantitas agar
pelanggan tidak kecewa."
Pewawancara:
"Pak Budi, bisa diceritakan sejak kapan Bapak memulai usaha kentang goreng
ini dan apa motivasi di baliknya?"
Pak
Budi: "Usaha ini saya rintis sekitar tiga tahun lalu,
Mba. Awalnya dari hobi ngemil kentang goreng, lalu terpikir untuk mencoba
jualan sendiri. Modalnya minim, hanya gerobak bekas yang saya cat ulang jadi
biru ini, dan wajan pinjaman. Saya lihat potensi di sini karena camilan seperti
kentang goreng ini digemari semua kalangan, dari anak-anak sampai dewasa.
Kuncinya di bumbu dan teksturnya yang renyah."
Pewawancara:
"Dengan dinamika harga bahan baku yang sering bergejolak, terutama minyak
goreng dan kentang, bagaimana strategi Bapak menyiasatinya agar tetap bisa
menawarkan harga bersaing?"
Pak
Budi: "Ini tantangan paling besar. Kalau harga bahan
baku naik drastis, saya tidak bisa langsung menaikkan harga jual di sini, Mba.
Pelanggan bisa kaget atau lari ke tempat lain. Biasanya, saya coba mengurangi
sedikit margin keuntungan. Kami punya pemasok langganan langsung dari pasar
induk di Kramat Jati, jadi bisa sedikit menekan biaya karena tidak lewat banyak
perantara. Kadang, porsi juga sedikit disesuaikan, tapi sebisa mungkin tetap
menjaga kualitas dan kuantitas agar pelanggan tidak kecewa."
Pewawancara:
"Saya lihat ada kode QRIS di gerobak Bapak. Apakah pemanfaatan teknologi,
seperti pembayaran digital atau media sosial, turut membantu penjualan?"
Pak
Budi: "Betul, Mba. Sejak setahun terakhir ini kami
pakai QRIS. Ternyata sangat membantu, terutama bagi anak muda yang jarang bawa
uang tunai. Transaksi jadi lebih cepat dan aman. Anak saya yang membantu
membuatkan akun Instagram sederhana, sesekali kami upload foto menu. Kami juga
terdaftar di beberapa aplikasi ojek online. Walaupun penjualan terbanyak masih
offline dari gerobak ini, pesanan online lumayan membantu, terutama saat cuaca
kurang mendukung atau malam hari."
Pewawancara:
"Sebagai pelaku UMKM, apa harapan Bapak terkait dukungan dari pemerintah
atau pihak lain untuk mengembangkan usaha seperti ini ke depan?"
Pak
Budi: "Harapan saya sederhana, Mba. Semoga harga
kebutuhan pokok bisa lebih stabil. Kemudian, kalau ada program pelatihan untuk
UMKM, kami sangat terbuka. Mungkin belajar manajemen keuangan yang lebih baik
atau cara mengembangkan merek. Saya bermimpi suatu hari bisa punya gerai kecil
permanen. Usaha ini tidak hanya untuk saya, tapi juga menghidupi keluarga dan
satu orang karyawan lepas yang membantu kalau sedang ramai."
Kesimpulan
Gerobak
Biru, Denyut Nadi Ekonomi Lokal (Penutup - Alinea 5)
Liputan
terhadap UMKM kentang goreng "Gerobak Biru" ini secara jelas
merefleksikan daya tahan dan kemampuan adaptasi sektor informal di tengah
lanskap ekonomi yang dinamis. Dari wawancara dengan Pak Budi, terlihat bahwa
kegigihan dalam menjaga kualitas produk, efisiensi dalam pengadaan bahan baku,
serta keberanian dalam mengadopsi teknologi pembayaran digital dan platform
daring, menjadi kunci vital untuk bertahan. Di sisi lain, testimoni dari
konsumen seperti Risa menggarisbawahi bahwa produk UMKM masih memiliki magnet
kuat berkat kombinasi harga yang kompetitif dan cita rasa otentik yang kerap
sulit ditiru oleh pemain besar. Untuk melangkah ke fase "naik kelas",
UMKM seperti Pak Budi memerlukan ekosistem pendukung yang kuat, meliputi
stabilitas harga bahan pokok dan akses yang lebih luas terhadap edukasi bisnis.
Kisah gerobak biru ini, pada akhirnya, bukan sekadar cerita tentang seporsi
kentang goreng, melainkan sebuah narasi tentang vitalitas, harapan, dan denyut
nadi ekonomi lokal yang tak pernah padam.

